Sang Imam dan Ibunya
Siapa yang tak kenal Imam Abu Hanifah? Pengasas mazhab terbesar dalam Islam ; madzhab Hanafiyyah. Imam Syafi’i pernah berkata, “Manusia berhutang budi pada Abu Hanifah dalam bidang fiqih.” Imam adz-Dzahabi bahkan menjulukinya sebagai Faqih al-Millah.
Tapi tahukah kita, ternyata ibu Abu Hanifah tidak ‘mengakui’ keilmuan anaknya. Ketika ibunya ragu tentang sebuah permasalahan, ia minta untuk dibawa ke hadapan Umar bin Dzar. Siapa Umar bin Dzar? Ia adalah seorang qash (untuk masa ini mungkin lebih tepat disebut sebagai ustadz atau muballigh). Dan ia ternyata adalah murid dari Abu Hanifah sendiri.
Demi memenuhi keinginan ibunya, Abu Hanifah membawa ibunya menghadap Umar bin Dzar. Sesampai di majlis Umar bin Dzar, ibunya duduk di pojok masjid, sementara sang Imam datang menemui Umar bin Dzar.
“Ibuku menanyakan sesuatu padamu,” kata Abu Hanifah membuka percakapan.
“Bagaimana mungkin wahai Imam, sementara aku adalah muridmu,” ucap Umar dengan nada kaget.
Abu Hanifah meminta Umar bin Dzar untuk bersedia menjawab pertanyaan ibunya.
Setelah mengetahui pertanyaan sang ibu, Umar bertanya pada Abu Hanifah apa jawabannya. Abu Hanifah pun memberi tahu jawabannya. Setelah tahu jawabannya, dengan suara keras (agar terdengar oleh ibu Abu Hanifah yang duduk agak jauh) Umar bingung Dzar berkata, “Pertanyaan yang engkau lontarkan wahai Abu Hanifah, jawabannya begini dan begini.”
Setelah mendengarkan jawaban dari Umar bin Dzar, ibunda Abu Hanifah pun merasa puas. Setelah itu ia pun pulang ditemani anaknya ; Imam Abu Hanifah.
***
Banyak hal yang bisa dipetik dari kisah ini :
Pertama, kisah ini memperkuat ungkapan yang berbunyi :
أَزْهَدُ النَّاسِ بِالْعَالِمِ أَهْلُهُ
“Orang yang paling zuhud (merasa tidak perlu) pada seorang alim adalah keluarganya sendiri.”
Betapa banyak orang alim yang lebih dihormati dan dihargai keilmuannya justeru oleh orang atau masyarakat lain. Sementara lingkungannya sendiri, bahkan keluarganya sendiri, tidak menyadari atau tidak peduli sama sekali pada keilmuan sang alim.
Tentu saja ini tidak bisa digeneralisir. Karena tidak sedikit juga orang alim yang tidak dihargai keilmuannya karena kepribadiannya yang kurang baik. Akhirnya masyarakat tidak menaruh rasa hormat kepadanya karena sudah tahu siapa dia. Terlebih lagi kalau sosok alim tersebut hanya ‘hebat’ di luar, tapi tidak hebat dalam keluarganya sendiri.
Inilah diantara makna hadits :
اخْبُرْ تَقْلُهُ
“Kenalilah lebih dekat maka engkau akan membencinya.”
Kedua, tingkat pemahaman manusia berbeda-beda. Ada orang yang bisa diajak bicara tentang dalil dan istidlal. Ia mengerti dasar-dasar berpikir rasional. Ia tahu bagaimana alur berpikir yang benar. Tapi ada orang yang sulit memahami lika-liku berpikir yang ‘rumit’ itu. Ia hanya ingin mendengar jawaban yang tegas-tegas saja, “Halal atau haram,” “Boleh atau tidak boleh.” Kalau disampaikan bahwa masalah tertentu tidak bisa dijawab dengan cara seperti ini, melainkan harus melihat berbagai hal, memperhatikan banyak faktor dan jawabannya boleh jadi tidak bersifat pasti, melainkan misalnya “Kalau begini kondisinya maka boleh, tapi kalau begini maka tidak boleh,” ia akan bertambah pusing.
Ketiga, ada tipe manusia yang mudah diyakinkan dengan argumentasi ilmiah dan logika yang kuat, tapia ada juga tipe manusia yang lebih mudah diyakinkan dengan retorika dan ketokohan.
Kita tidak bisa menyalahkan tipe kedua ini karena sebagaimana Allah membagi rezeki, Dia juga membagi akal (كما قسم الأرزاق قسم العقول).
Maka sikap yang baik dalam menghadapi berbagai tipe dan tingkat pemahaman masyarakat adalah memahami itu sebagai karunia dari Allah ; الله يبسط الرزق لمن يشاء ويقدر .
Orang yang sudah terbiasa dengan argumentasi-argumentasi ilmiah dan cara berpikir yang logic, bersyukurlah kepada Allah Swt, dan tidak perlu memandang rendah pada orang yang lebih mudah diyakinkan dengan retorika dan cara penyajian meski tidak argumentatif.
Hanya yang perlu diingatkan adalah kalau kita tidak bisa dan tidak terbiasa dengan hal-hal yang logic atau dalil-dalil yang argumentatif maka jangan memaksakan diri masuk ke ranah itu. Serahkan pembahasan tentang itu kepada orang-orang yang sudah mendedikasikan dirinya untuk mengkaji hal-hal rumit tersebut.
***
Meskipun mampu memberikan jawaban dengan berbagai dalil dan argumentasi, namun Abu Hanifah tidak melakukan hal itu pada ibunya. Ia tidak memaksa ibunya untuk mendengar jawaban yang berdalil dan argumentatif. Apalagi sebagai seorang anak yang berbakti beliau akan mengikuti apapun keinginan ibunya.
Di sisi lain, Umar bin Dzar yang lebih ‘digandrungi’ oleh sang ibu daripada puteranya sendiri yang tak lain adalah guru dari sosok idolanya, ternyata adalah seorang dengan kepribadian yang matang dan keluasan jiwa yang luar biasa.
Dikisahkan, ada seorang perawi hadits bernama Abdullah bin ‘Ayyash al-Mantuf mencela, menghina dan memburuk-burukkan Umar bin Dzar. Suatu kali, Umar bin Dzar bertemu dengannya. Umar berkata, “Hai engkau, jangan terlalu berlebihan mencela kami. Tinggalkan juga ruang untuk berbaikkan.”
Kemudian Umar melanjutkan dengan kalimat yang menjadi slogan para hamba Allah yang shaleh dalam menghadapi para pendengki dan pencaci :
فَإِنَّا لاَ نُكَافِئُ مَنْ عَصَى اللهَ فِيْنَا بِأَكْثَرَ مِنْ أَنْ نُطِيْعَ اللهَ فِيْهِ
“Kami tidak akan membalas orang yang mendurhakai Allah dengan cara mencela kami kecuali dengan mentaati Allah dengan memaafkannya.”
اللهم حلنا بالأخلاق الحسنة وخلنا من الأخلاق السيئة
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
2 November 2021·