Imam an-Nawawi Menulis Status Facebook
Saya itu membayangkan, Imam an-Nawawi (w. 676 H) menulis status di Facebook. Lalu beberapa orang mengomentari untuk mendebatnya.
Itulah yang saya bayangkan dari kitab-kitab ulama yang ada tahqiqnya dari orang yang tak sepaham dengan penulisnya.
Kalo Imam an-Nawawi (w. 676 H) bisa membalas komentar di status Facebooknya, pasti sudah dibalas komentar para netizen yang mengotori kitabnya itu.
Hari ini, banyak sekali kitab-kitab ulama yang ditahqiq ulama kontemporer. Sayangnya si pentahqiq tak sepaham dan cenderung menyalah-nyalahkan penulis aslinya.
Kemarin saya beli kitab Riyadhus Shalihin di salah satu toko kitab. Saya disodori 4 cetakan yang berbeda. 2 dari 4 cetakan itu dikomentari atau bahasa hari ininya ditahqiq oleh ulama kontemporer yang tak sepaham dengan penulis. Saya tak sebutkan siapa pentahqiqnya.
Kadang hati ini ada rasa dongkolnya. Sekelas Riyadhus Shalihin yang oleh penulisnya sudah dijamin shahih, masih aja hadisnya dikomentari dishahihkan oleh syaikh bla bla bla, didhaifkan oleh syaikh bla bla bla. Udah shahih Bukhari dan Muslim saja, kadang masih ditahqiq dikomentari dishahihkan oleh Syaikh bla bla bla.
Imam an-Nawawi aja bilang dalam mukaddimahnya:
وألتزم فيه أن لا أذكر إلا حديثا صحيحا من الواضحات، مضافا إلى الكتب الصحيحة المشهورات. [النووي، رياض الصالحين، ٧/١]
Okelah kita anggap itu sebuah kritik ilmiah, kritik status hadis. Cuma kadang lebih dari itu.
Saya pernah beli kitab Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi. Sayangnya waktu beli kurang teliti baca siapa pentahqiqnya. Dibawahnya ditahqiq atau dikomentari oleh Syaikh bla bla bla. Cuma tahqiqnya isinya hanya kritik pendapat Imam an-Nawawi yang ga sejalan dengan pendapat si pentahqiq itu. Imam an-Nawawi disalah-salahkan. Cuma belum dianggap sesat saja.
Kalo cuma mau kritik Imam an-Nawawi, kenapa tak di kitab lain aja. Buat kitab lain lah.
Belum lagi, apa yang dilakukan oleh Imam an-Nawawi dikritik oleh orang-orang itu.
Ini contohnya ya.
Imam an-Nawawi itu sebelum wafat, beliau itu ke kuburan guru-gurunya, membaca Al-Qur'an disitu, mendoakan mereka dan menangis disitu. Itu diceritakan oleh muridnya; Ibnu al-Aththar. Sebagaimana dalam gambar 1.
Kemudian Imam an-Nawawi (w. 676 H) ziarah ke al-Quds, dan ziarah ke kuburnya al-Khalil Nabi Ibrahim disana.
Nah, oleh pentaqiqnya atau komentatornya dikomentari sebagaimana dalam gambar 2:
"Ziarah Nabi Ibrahim itu tak ada dasar dalilnya. Kalo saja Nabi Ibrahim disitu pastinya tak boleh shalat menghadap kesana dan shalat di bangunannya."
Sebenarnya model tahqiq begini menurut saya mirip dengan yang ngaji pakai kitab Syafii, tapi ustadznya suka menyalah-nyalahkan isi kitabnya.
Kenapa sih, ga buat kitab baru aja, tak usah coret-coret kitab ulama salaf. Kenapa sih ga ngaji kitab lain saja yang sepemikiran dengan ustadznya?
Kenapa ya? Kira-kira kenapa menurut antum?
Sumber FB Ustadz : Hanif Luthfi
31 Oktober 2021