Hadits Yang Bukan Hadits
Kalau sebelumnya saya menulis judul : 'Fiqih Yang Bukan Fiqih', kali ini judulnya ada kemiripan tapi beda dikit, yaitu : 'Hadits Yang Bukan Hadits'.
Apa maksudnya?
Maksudnya saya ingin memotret fenomena unik di banyak tempat di tengah umat Islam, dimana pelajaran ilmu hadits yang digelar seringkali mengalami perubahan orientasi.
Seharusnya kajian hadits itu dimulai dari kajian sanad dan jalur periwayatan, lalu masuk pembahasan fakta-fakta original terkait dengan apa yang Nabi SAW katakan atau lakukan. Itu garis batasnya.
Misi utama sampai kepada bagaimana kita mengungkap fakta kejadian sejarah terkait Nabi SAW.
Adapun analisanya secara lebih jauh, khususnya kalau sudah sampai wilayah kesimpulan hukum, maka sudah bukan lagi area jurisdiksi ilmu hadits. Itu sudah masuk wilayah jurisdiksi ilmu fiqih.
Sayangnya dimana-mana saya perhatikan, banyak sekali kajian hadits yang isinya malah menyimpang jauh kemana-mana, loncat melintasi cabang ilmu yang lain.
Kalau narasumbernya kebetulan ahli fiqih juga sih sebenarnya tidak jadi masalah. Dan banyak ulama yang punya dua kapasitas sekaligus.
Namun sayangnya kebanyakan yang kita saksikan, para narasumber ini ternyata bukan ahli fiqih. Sehingga fatwa yang keluar dari mulutnya banyak menyalahi kajian yang baku dalam ilmu fiqih.
Contoh sederhana, judul resmi kajian adalah membahas kitab Shahih Bukhari. Itu resminya.
Tapi ternyata isinya kok berubah? Kok ujung-ujungnya jadi kajian fiqih? Kok malah membahas ini dan itu hukum haram, wajib, mubah, makruh atau sunnah.
Pertanyaannya : Ini ngaji hadits apa ngaji fiqih?
Lucunya lagi, kadang malah menggiring opini membela pendapat mazhab yang berbeda dari mazhab mayoritas umat Islam di suatu negeri?
Padahal kajian hadits itu adalah kajian hadits. Banyak sekali cabangnya. Bisa konsentrasi ke ilmu riwayatnya, belajar rijalnya, sanadnya dan leshahihannya.
Atau bisa juga bicara konten atau matan-nya. Namun tetap saja ada point-point penting dan krusial yang tidak sederhana kalau sudah mulai upaya dalam menarik kesimpulan hukumnya.
Sebab kalau sudah sampai ke daerah itu, khususnya masalah hukum, sebenarnya sudah bukan lagi wilayah para ahli hadits. Tapi sudah masuk wilayah ilmu fiqih.
Kalau pun mau dijelaskan sampai ke level kesimpulan hukum, maka yang menyampaikannya harus memenuhi kapasitas sebagai ahli hukum Islam, yaitu ulama ahli fiqih.
oOo
Yang harus dibenahi ke depan dalam dunia majelis taklim kita adalah bagaimana memperkenalkan tiap cabang ilmu keislaman sesuai dengan wilayah jurisdiksinya. Biar tidak loncat pagar masuk halaman orang secara ilegal.
Itu dosa dan haram.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian · 3 Oktober 2021 pada 19.41 ·