Lahir Lalu Meninggal, Apakah Masih Disunahkan Untuk Diakikahi?
Oleh : Abdullah Al-Jirani
Ada yang bertanya, tentang akikah untuk bayi yang lahir secara sempurna dan sempat hidup, tapi setelah beberapa saat/waktu meninggal dunia. Apakah masih disunahkan untuk diakikahi ? Jawab : Tetap disunahkan untuk diakikahi. Dan Ini merupakan pendapat yang muktamad (standar) dalam mazhab Syafi’i. Karena bayi yang sempat terlahir sempurna dalam kondisi hidup, masuk dalam keumuman “maulud” (yang dilahirkan) di dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ، وَيُسَمَّى
“Setiap anak (yang dilahirkan) tergadai dengan akikahnya, disembelih darinya di hari yang ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan selainnya. Lafadz tersebut lafadz Ibnu Majah).
Imam An-Nawawi (w. 676 H) rahimahullah berkata :
لَوْ مَاتَ الْمَوْلُودُ بَعْدَ الْيَوْمِ السَّابِعِ وَبَعْدَ التَّمَكُّنِ مِنْ الذَّبْحِ فَوَجْهَانِ حَكَاهُمَا الرَّافِعِيُّ (أَصَحُّهُمَا) يُسْتَحَبُّ أَنْ يَعُقَّ عَنْهُ (وَالثَّانِي) يَسْقُطُ بِالْمَوْتِ
“Seandainya bayi yang lahir meninggal setelah hari ketujuh dan setelah memungkinkan dari menyembelih (akikah), maka Imam Ar-Rafi’i menghikayatkan dua pendapat. Yang paling shahih (kuat) dari keduanya adalah dianjurkan untuk mengakikahinya. Pendapat kedua : gugur dengan kematian.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 8/432)
Hal ini tegaskan lagi oleh Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i (w. 974 H) rahimahullah :
(يُسَنُّ) سُنَّةً مُؤَكَّدَةً (أَنْ يَعُقَّ عَنْ) الْوَلَدِ بَعْدَ تَمَامِ انْفِصَالِهِ وَإِنْ مَاتَ بَعْدَهُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فِي الْمَجْمُوعِ
“Sangat disunahkan untuk mengakikahi anak setelah lahir secara sempurna walaupun setelah itu meninggal dunia menurut pendapat muktamad (standar mazhab syafi’i) di dalam kitab Al-Majmu’ (karya Imam An-Nawawi).” (Tuhfah Al-Muhtaj : 9/370).
Lalu bagaimana untuk kasus keguguran ? Dalam hal ini perlu dirinci. Jika kegugurannya telah masuk usia dimana ruh telah ditiupkan kepada janin (kurang lebih empat bulan), maka sebagian ulama menganjurkan tetap diakikahi sebagai bentuk ihtiyath (kehati-hatian). Jika belum, maka tidak dianjurkan.
Disebutkan dalam kitab Busyra Al-Karim karya Imam Said bin Muhammad Baaisyin Al-Hadhrami Asy-Syafi’i (w.1270 H) rahimahullah ;
ولو سقطاً بلغ أوان النفخ .. فيعق عنه، ويُسمَّى؛ احتياطاً
“Seandainya janin yang keguguran dalam kondisi telah mencapai saat/waktu ditiupkannya ruh,...maka diakikahi, (dan) diberi nama, sebagai bentuk ihtiyath (kehati-hatian).” (Busyra Al-Karim, hlm. 706)
Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika ada kekurangan. Wallahu a’lam bish shawab.
Baca juga kajian Sunnah berikut :
- Berangkat Salat Jumat Dari Tempat Kerja, Kapan Mandi Sunahnya?
- Tidak Selalu, Kalau Tidak Sunnah Berarti Bid’ah
- Marah Sesuai Sunnah
- Ikhtilaf Terjadi Karena Meninggalkan Quran-Sunnah?
- Melafazkan Niat Menyelisihi Sunnah?
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
6 September 2021·