Kenapa Kata "ada" Bagi Allah Tidak Ada Dalam Al-Qur'an?
Kenapa kata "ada" bagi Allah tidak ada dalam al-Qur'an? Jawabannya: Karena tidak diperlukan. Justru akan menjadi cacat redaksi apabila ada kata tersebut.
Tidak ada seorang pun yang menulis buku, artikel, surat, status atau bahkan komentar di medsos yang berkata "saya ada" sebab keberadaan tulisan itu sendiri adalah bukti keberadaan penulisnya. Dan tidak ada pula pembaca tulisan tersebut yang bertanya apakah si penulis tulisan tersebut ada. Jadi, bila misalnya dalam al-Qur'an ada kalimat "Aku Allah ada", maka itu justru kalimat yang aneh dan percuma. Betapa bagus susunan redaksi al-Qur'an yang tidak memuat kata-kata percuma.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
Kajian· 22 September 2021 pukul 13.35 ·
sambungan :
Kalau saya bilang bahwa sifat wujud bagi Allah tidak ada, tentu banyak orang yang tidak mendalami ilmu kalam akan kaget dan salah paham. Bisa-bisa saya dituduh meniadakan Allah meskipun mana mungkin itu terjadi. Namun kesalahpahaman semacam ini saya kira wajar sebab orang awam tidak paham klasifikasi sifat-sifat Allah.
Bagi yang belajar ilmu kalam, ini ucapan wajar yang dibahas sejak dahulu kala. Sudah basi sekali bahkan. Jangankan sifat wujud, sifat qidam, baqa', mukhalafatul Lil hawadits, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah, qadiran, muridan, 'Aliman, hayyan, sami'an, bashiran, mutakalliman juga ada yang bilang tidak ada. Yang tersisa hanya tinggal tujuh sifat maknawi saja yang bisa disebut ada. Yang tujuh tersebut adalah: qudrah, iradah, ilmu, hayah, sama', bashar dan kalam. Istilah selain tujuh di atas bukan sifat wujudiyah atau bisa dikatakan tidak ada.
Jadi, ketika Yai Said Aqiel Siradj mengatakan "tidak ada sifat wujud", maka itu memang pendapat Imam Abul Hasan al-Asy'ari. Belakangan, Imam Abul Hasan juga menambahkan sifat-sifat khabariyah dalam daftar sifat wujudiyah sehingga tidak hanya tujuh sifat tetapi menjadi banyak. Jadi, selain ada qudrah juga ada yadullah, selain bashar juga ada ainullah, dan seterusnya. Langkah terakhir ini diikuti Asya'irah mutaqaddimin. Yang disinggung Ibnu Katsir sebagai fase kedua dan fase ketiga imam Asy'ari sebetulnya ini, bukan seperti yang ditulis para masyayikh wahabi itu.
Beda lagi dengan madrasah Imam Haramain, selain tujuh sifat di atas, beliau memasukkan lagi tujuh Ahwal atau sifat Maknawiyah dalam hitungan sifat wajib aqli sehingga menjadi empat belas, selain sifat tanzih. Imam Nawawi (entah apa ada tokoh lain sebelum beliau) memasukkan juga daftar lain dalam hitungan sehingga menjadi dua puluh. Ini kemudian dilanjutkan oleh Imam Sanusi yang secara sistematis kemudian memperinci yang dua puluh itu menjadi kategori nafsiyah, salbiyah, maknawi dan maknawiyah ditambah satu sifat jaiz dan sifat kamalat yang tidak terhitung jumlahnya. Versi imam Sanusi yang mengakomodir semua pendapat inilah yang paling banyak diajarkan di madrasah Asy'ariyah seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sebagian ulama lain menambah sifat idrak sebagai tambahan bagi yang dua puluh di atas. Sebagian lagi menyebut qudrah dan iradah sebagai satu sifat saja yang disebut takwiniyah. Jadi, hitungannya akan berbeda ketika menggunakan versi ini. Begitu pula kalau kategori sifat aqliyah ditambah dengan kategori sifat khabariyah, maka akan beda lagi jumlah dan model klasifikasinya. Beberapa sifat khabariyah masuk dalam kategori wajib aqli dan sebagian lagi masuk dalam kategori jaiz aqli.
Yang saya tulis di atas ini semuanya adalah pendapat ahlussunnah wal jamaah. Masing-masing pendapat punya klasifikasi sifat sendiri dan dasar serta logikanya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sesat sebab ini hanya soal klasifikasi saja. Perlu dicatat juga bahwa tidak ada yang mengatakan bahwa Allah tidak ada atau Allah tidak baqa', tidak qidam atau lainnya. Mereka hanya tidak memasukkan istilah-istilah tersebut dalam kategori sifat yang mereka pakai. Ingat, kategorisasi adalah tindakan ilmiah yang sifatnya ijtihadiyah.
Beda jauh antara mengatakan "Allah tidak mempunyai sifat wujud" dan "Allah tidak wujud". Netizen awam banyak yang gagal paham soal ini sehingga gegerlah dunia permedsosan dengan secuil potongan video Yai SAS sebagai gorengannya. Tapi wajar sih namanya juga tidak belajar ilmu kalam dengan mendalam atau ngertinya hanya madrasah Imam Sanusi saja. Seperti biasa, orang yang sedikit tahu itu selalu berisik sedangkan orang yang banyak tahu selalu tersenyum melihat keberisikan itu.
Adapun versi Wahabi (Taimiyun) beda lagi klasifikasinya. Sampai sekarang mereka tidak sepakat pada sifat qidam dan mukhalafah Lil hawadits, meskipun mereka semua yakin bahwa Allah selalu ada dan berbeda dengan makhluk. Istilahnya saja yang ditolak sebagai sifat, bukan maknanya. Beda lagi dengan muktazilah dan Jahmiyah yang menganggap bahwa yang ada hanya dzat tanpa ada satu pun sifat. Yang saya sebut di paragraf terakhir ini adalah pemahaman bermasalah semua meskipun semuanya masih islam dan pada akhirnya akan masuk surga semua.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
23 September 2021 ·
sambungan :
Kok ada ya orang yang tidak paham uraian ilmu kalam malah bangga dengan ketidakmampuannya dalam mencerna? Bahkan ada yang kesannya merendahkan mereka yang mampu mencerna materi yang menurut mereka terlalu rumit. Pakar pendidikan tentu geleng-geleng kepala dengan fenomena ini.
Ketika dalam al-Qur'an disebutkan bahwa berbeda level antara orang yang tahu dan yang tidak tahu, mungkin yang mereka pahami yang unggul adalah pihak yang tidak tahu. 😅
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad