Merenggangkan Shaf Saat Pandemi
Merapatkan shaf shalat, bukan termasuk perkara rukun atau syarat sahnya shalat. Menurut jumhur (mayoritas) ulama termasuk di dalamnya mazhab Syafi’i, hukumnya hanya bersifat mandub (anjuran). Andai tidak dilakukan pun, maka shalatnya tetap sah.
Merenggangkan shaf shalat saat pendemi seperti sekarang ini, termasuk masalah ijtihadi. Mereka yang merengangkan shaf, mengikuti fatwa para ulama dalam masalah tersebut, di mana salah satu dasar pertimbangannya dilihat dari sisi ikhtiyar untuk pencegahan penyebaran Covid 19 (sesuai arahan kementrian kesehatan) sebagai upaya untuk hifdzu an-anfs (menjaga jiwa). Tapi di sisi lain, kita dianjurkan untuk meluruskan shaf. Dalam kondisi ini berlaku kaidah : “Daf’ul mafsadah muqaddamun ‘ala jalbil manfa’ah (Menolak kemudharatan lebih diutamakan dari mengambil manfaat).
jadi, mereka yang merenggangkaf shaf, tidak bisa dikatakan telah “menentang Allah dan Rasul-Nya” karena dianggap tidak patuh kepada keduanya yang telah memerintahkan untuk merapatkan shaf. Ini sebuah pernyataan yang sangat keliru. Benar, Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan merapakatkan shaf (walau perintahnya hanya bersifat mandub), tapi di sisi lain, Allah memerintahkan kita juga untuk menjaga nyawa kita. Allah Ta’ala berfirman : “Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah : 195). Maka berlakulah kaidah yang telah disebutkan di atas sebagai bentuk kompromi kepada dalil-dalil yang ada.
Saya tidak akan memaksa semua orang untuk merenggangkan shaf. Silahkan saja jika tetap bersikukuh untuk merapatkannya. Resiko tanggung sendiri. Tapi, hendaknya hal itu dijadikan pendapat pribadi saja. Tidak perlu dipublish ke masyarakat umum. Apalagi sampai mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak pantas untuk diucapkan kepada mereka yang merengangkannya seperti : “Menentang Allah dan Rasul-Nya”, “Bermaksiat kepada Allah tapi taat kepada makhluk (pemerintah)”, dan semisalnya. Na’udzubillah.
Masalah ini jelas-jelas masalah ijtihadiyyah. Selayaknya kita untuk bisa saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Kalau masalah-masalah fiqh seperti ini senantiasa dikesankan (secara sepihak dan zalim) sebagai masalah mujma’ alaihi (disepakati), hanya akan melahirkan sikap kasar, kaku, dan arogan. Karena setiap orang yang berbeda pendapat dengannnya, akan dia sikapi sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya. Dia mengklaim diri sebagai representasi dari Islam (Allah dan Rasul-Nya). Siapa yang menentang dia , maka dia anggap telah menentang Allah dan Rasul-Nya. Ini jelas-jelas bertentangan dengan manhaj Salaf.
Pesan saya, terkhusus kepada para ustad dan dai, hendaknya saat kita menyampaikan issue seputar permasalahan fiqh khilafiyyah, kita banyak menegaskan bahwa itu baru “pendapat” kita. Artinya, sebuah kesimpulan yang kita bangun menurut pemahaman kita kepada dalil. Jadi, bisa benar, tapi juga bisa jadi salah. Masih ada pendapat lain yang mungkin jadi lebih kuat. Jangan malah mengesankan sebaliknya sebagai “hukum Allah dan Rasul-Nya". Selain itu, hendaknya kita berusaha banyak membimbing jamaah kita untuk berlapang dada dalam masalah-masalah khilafiyyah ijtihadiyyah. Kondisi jamaah kita amat sangat tergantung bagaimana kita (sebagai dai) mendidik mereka.
Sekedar saran. Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
31 Agustus 2021