MENGURAI DEFINISI BID'AH YANG BERAGAM DAN SEOLAH BERTENTANGAN
Oleh Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
Ada pertanyaan "abadi" kaum muslimin yang kerap kali menjadi perdebatan panjang, yakni apa itu bid'ah dan apakah bid'ah bisa dibagi-bagi? Banyak sekali definisi bid'ah yang diterangkan oleh para ulama dari masa ke masa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tak jarang, sebab perbedaan definisi inilah akhirnya muncul perdebatan tak berkesudahan tentang bid'ah tidaknya suatu amalan. Untuk sederhananya, saya mencoba menguraikan secara singkat inti semua definisi itu beserta akar perbedaannya supaya memudahkan para pembaca.
Kesemua definisi bid'ah yang ada dalam berbagai kitab dapat diklasifikasi menjadi dua kategori global seperti berikut:
A. Definisi yang mempertimbangankan istilah syar'i.
Definisi ini ditarik dari penggunaan kata bid'ah oleh Rasulullah sendiri yang ternyata semuanya serba negatif, serba tidak diterima, serba sesat dan serba mengarah ke neraka. Secara sederhana, bid'ah dalam definisi pertama ini adalah ibadah baru yang sama sekali tidak punya dasar dari syariat tetapi dibuat menyerupai syariat sehingga keberadaannya menentang aturan syariat yang telah ada sebelumnya.
Redaksi definisi ini saya peras dari definisi Imam as-Syafi'i dan as-Syathibi sekaligus. Secara umum, redaksi definisi para ulama dalam mengungkapkan hal baru yang selalu jelek dan bertentangan dengan aturan syariat ini bisa sangat beragam tetapi maksud dan prakteknya adalah demikian. Dalam definisi pertama ini, bid'ah sama sekali tidak bisa dibagi-bagi. Semua yang masuk kategori bid'ah maka pasti buruk dan sesat. Sebaliknya, istilah sunnah sebagai lawan dari bid'ah dalam definisi pertama ini diartikan sebagai sesuatu yang pasti baik sebab ada tuntunannya dari tindakan (fi'l), ucapan (qaul) atau pengakuan (iqrar)Rasulullah.
Definisi ini mucul dari berbagai hadis dan atsar tentang bid'ah yang kesemuanya memutlakkan istilah bid'ah untuk sesuatu yang negatif dan bertentangan dengan sunnah. Di antaranya yang paling populer adalah
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Kalian harus waspada pada hal-hal baru. Sesungguhnya semua hal baru adalah bid'ah dan semua bid'ah adalah sesat" (HR. Ahmad)
Juga atsar dari Ibnu Umar berikut ini:
الأمر بالاتباع والنهي عن الابتداع (ص: 79)
وعن ابن عمر رضي الله عنه، قال: كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
"Dari Ibnu Umar ra, dia berkata: Setiap bid'ah adalah sesat meskipun dipandang baik oleh manusia.
Ada begitu banyak dalil lainnya yang intinya menyebutkan bahwa istilah bid'ah itu pasti buruk, pasti sesat, pasti bertentangan dengan sunnah dan sama sekali tidak dibagi-bagi. Ini adalah konteks penyebutan asal istilah bid'ah secara syariah.
B. Definisi yang mempertimbangkan istilah kebahasaan
Definisi secara istilah syariah di atas bukan satu-satunya definisi yang dikenal oleh para ulama. Meskipun banyak sekali penggunaan kata bid'ah yang dipakai untuk menunjukkan makna serba negatif, tetapi dalam kenyataannya Nabi sendiri dan juga para sahabat tak selalu mengutuk hal-hal baru dalam agama tetapi ada juga yang diapresiasi dan mendapat pengakuan. Karena itulah, maka banyak ulama yang kemudian mengembangkan definisi lain secara kebahasaan.
Dalam penggunaan kata bi'dah secara umum yang dikenal dan digunakan sejak sebelum era Islam hingga era para sahabat, istilah bid'ah berarti tindakan yang baru yang tak ada contoh sebelumnya. Kapan batasan "sebelumnya" itu? Para ulama berselisih pendapat lagi; Ada yang membatasinya dengan masa Rasulullah saja dengan mempertimbangkan istilah sunnah yang mencakup tindakan, ucapan dan pengakuan Rasulullah seorang. Ada juga yang agak memperluas hingga masa khulafa'ur Rasyidin dengan mempertimbangkan perintah Rasul agar mengikuti sunnah mereka. Ada juga yang memperluas menjadi tiga kurun pertama dengan mempertimbangkan hadis nabi yang menyebutkan keutamaan tiga kurun pertama. Perbedaan batasan ini menyebabkan banyaknya perbedaan redaksi definisi dan penafsiran terhadap hal baru yang terjadi di masa sahabat dan tabi'in apakah masuk kategori bid'ah ataukah tidak.
Karena definisi kedua ini menitik beratkan pada unsur kebaruannya saja, maka penggunaanya selalu dibagi menjadi dua kategori besar, yakni bid'ah yang baik (hasanah) untuk hal-hal yang tidak menentang aturan syariat yang telah ada dan bid'ah yang buruk (sayyi'ah) untuk hal-hal yang menentang salah satu aturan syariat. Secara lebih spesifik, bid'ah dalam definisi kedua ini dibagi menjadi lima kategori kecil, yakni: Bid'ah yang wajib, yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram. Ini semua maksudnya adalah tindakan baru yang baik dan yang buruk, atau tindakan baru yang wajib, yang sunnah dan seterusnya.
Sebaliknya, istilah sunnah sebagai lawan dari bid'ah dalam definisi kedua ini diartikan sebagai suatu tindakan baru, entah betul-betul baru atau tindakan lama yang diperbarui, yang bisa jadi positif (sunnah hasanah) dan bisa jadi negatif (sunnah sayyi'ah).
Definisi kategori kedua ini berdasarkan banyak sekali dalil hadis dan atsar, di antaranya:
مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dalam hadis di atas, kata sunnah sebagai lawan dari kata bid'ah diartikan sebagai suatu rintisan atau tindakan percontohan yang baru, baik itu betul-betul baru ataupun hal lama tetapi diperbarui lagi. Sunnah dalam arti sedemikian oleh Nabi dibagi menjadi dua, yaitu sunnah hasanah dan sunnah sayyi'ah. Dengan begitu, maka bid'ah pun otomatis dibagi menjadi dua juga; ada yang hasanah dan ada juga yang sayyi'ah.
Selain itu ada hadis lainnya di mana Nabi membagi-bagi hal baru, yaitu:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat hal baru dalam urusan agama kami ini, yang bukan dari ajaran kami, maka dia tertolak.” (HR Bukhari-Muslim)
Dalam hadis di atas jelas sekali disebutkan bahwa hal baru yang tercela adalah yang memenuhi dua kriteria, yaitu: Pertama, haruslah dalam urusan agama saja dalam arti hal ibadah. Kedua, haruslah dalam hal yang sama sekali tak ada dalilnya baik secara khusus ataupun dalil secara umum.
Karena adanya dua kategori di atas, maka berarti tak semua hal baru tercela dan tertolak, namun ada hal-hal baru yang ternyata cocok dengan dalil syariat yang ada sehingga diakui. Faktanya, hal-hal baru semacam ini banyak terjadi di masa rasul, sahabat, tabi'in dan hingga sekarang. Orang-orang yang banyak membaca kitab hadis dan sejarah akan tahu hal ini. Sebagian contohnya adalah:
Sahabat Bilal selalu shalat dua rakaat sehabis wudhu tanpa ada tuntunan dari Nabi,
Sahabat Khubaib bin 'Adi membuat tradisi shalat dua rakaat sebagai permintaan terakhir sebelum dihukum mati tanpa pernah mendapat contoh atau arahan dari Nabi,
Seorang sahabat selalu membaca surat al-ikhlas sebelum ayat lainnya dalam setiap rakaat tanpa pernah mendapat contoh atau arahan dari Nabi,
Sahabat lain membaca redaksi dzikir dalam i'tidal tanpa pernah mendapat contoh atau arahan dari Nabi,
Sahabat Umar menyuruh para sahabat untuk salat tarawih full sebulan penuh setiap tahun dan menentukan waktunya selalu di awal isya' tanpa pernah mendapat contoh atau arahan dari Nabi.
Dan begitu banyak contoh lainnya yang kesemuanya disepakati sebagai tindakan yang baik, meskipun punya unsur kebaruan.
Semua hal baru yang dipraktekkan sejak masa sahabat ini pada awalnya tidak mempunyai dalil secara khusus tetapi punya dalil secara umum dan tidak mempunyai unsur pertentangan dengan ajaran syariat yang telah ada. Karena itu, maka yang seperti ini kemudian diistilahkan sebagai bid'ah hasanah. Dalam perspektif definisi kedua ini, yang dimaksud semua bid'ah sesat dan masuk neraka sebagaimana hadis sebelumnya hanyalah yang bid'ah yang berkategori sayyi'ah saja. Meskipun nabi tak mengatakan kata sayyi'ah dalam hadis "kullu bid'atin" tersebut, tetapi maknanya tetap bisa dipahami demikian sebagaimana ketentuan takhsisul 'adillah dalam kitab-kitab ushul fiqh. Yang mengingkari pemahaman seperti ini hanyalah mereka yang tak paham ushul fiqh saja.
Kedua jenis definisi di atas adalah klasifikasi sederhana dari seluruh ragam definisi bid'ah yang dipaparkan ulama. Kedua jenis definisi bid'ah atau sunnah tersebut harus dipahami secara pas dalam konteksnya masing-masing, tidak boleh dicampur aduk. Siapa pun yang menafikan keberadaan salah satu jenis definisi di atas dapat dipastikan sebagai orang yang sangat kurang membaca atau banyak membaca tetapi fanatik buta sehingga menutup mata dari salah satunya. Atau mungkin pula, dia banyak membaca tetapi semua yang dia baca hanya literatur yang hanya memuat satu jenis definisi saja akhirnya hanya itu yang dia tahu. Mereka yang seperti ini adalah orang yang berpikiran sempit namun biasanya merasa sudah sangat luas pengetahuannya.
Definisi jenis pertama di atas hanya mencakup segala tindakan yang dalam tulisan sebelumnya saya sebut sebagai "ibadah" dengan ciri-cirinya yang punya syarat dan rukun. Karenanya, dalam definisi pertama tak pernah dibahas soal bid'ah tidaknya membuat yayasan pesantren, ke masjid pakai onta, haji naik pesawat atau azan memakai mickrofon dan lain sebagainya, sebab yang seperti ini memang bukan ibadah.
Adapun definisi jenis kedua lebih luas sehingga juga mencakup segala tindakan non-ibadah yang bernilai ibadah. Karenanya dalam definisi kedua, hal-hal yang bukan inti ibadah ini selalu dibahas sebagai bagian dari istilah bid'ah; Pakai onta dan microfon dibilang bid'ah yang mubah, bikin yayasan pesantren dibilang bid'ah yang sunnah dan seterusnya.
Yang mencampur adukkan kedua jenis definisi ini biasanya akan membodohkan pihak yang membagi-bagi bid'ah sambil keheranan mengapa sesuatu yang jelas melawan syariat kok masih dibagi-bagi menjadi baik dan buruk? Atau di pihak lain dia membodohkan yang tak mau membagi bid'ah sambil keheranan mengapa sesuatu yang baru kok digeneralisir sesat padahal banyak tindakan baru, sejak masa Rasul dan para sahabat, yang nyata-nyata baik dan bahkan mendapat taqrir dari Rasulullah? Vonis bodoh dan keheranan semacam ini tak akan terjadi bila paham konteks kedua definisi yang sepintas bertolak belakang di atas, padahal inti keduanya sama saja hanya diungkapkan dengan istilah berbeda dan dari sudut pandang yang berbeda pula.
Yang sangat disesalkan, banyak tokoh yang tergolong ahli ilmu yang gagal paham soal ini atau mungkin sengaja menyembunyikan kebenaran, sehingga dia mencampur aduk kedua definisi bid'ah dan sunnah di atas sehingga membingungkan umat. Misalnya, dia mengatakan bahwa sunnah adalah perbuatan, perkataan dan pengakuan Rasulullah saja (sesuai definisi pertama) lalu dia mengartikan kata sunnah dalam hadis "man sanna" di definisi kedua di atas seperti definisi pertama sehingga menyempitkan makna sunnah hasanah HANYA pada shadaqah atau hal-hal lain yang merupakan sunnah dalam definisi pertama. Padahal, jelas-jelas kata sunnah dalam hadis itu juga ada yang sayyi'ah. Mungkinkah ada perbuatan, perkataan dan pengakuan Rasulullah yang sayyi'ah? tidak mungkin ada. Untuk menutupi keculasan pemahaman ini, biasanya tokoh semacam ini tidak membahas sunnah sayyi'ah secara pararel sebagaimana dia membahas sunnah hasanah, tetapi dia akan mengambil jalan berbeda yang tidak konsisten atau malah diam sama sekali tak membahasnya supaya
pembaca tak kepikiran ke sana. Saamahahumullah.
Karena itulah, agar dialog tentang tema bid'ah berjalan efektif dan efisien, maka harus diketahui dulu siapa lawan dialognya dan kira-kira definisi mana yang dia pakai.
Ketika ada orang yang hanya tahu definisi pertama saja menanyakan apakah peringatan maulid Nabi adalah bid'ah? maka harus dijawab bukan bid'ah sebab dalam definisi pertama bid'ah yang dia ketahui itu bid'ah selalu buruk dan melawan sunnah sedangkan peringatan maulid tidaklah buruk dan tidak pula melawan sunnah.
Ketika ada orang yang hanya tahu definisi kedua bertanya apakah naik onta adalah bid'ah, maka harus dijawab bahwa itu adalah bid'ah yang hasanah sebab dalam definisi kedua tadi hal-hal semacam ini tak tergolong bid'ah sayyi'ah.
Demikian seterusnya bisa dikiaskan sendiri. Apabila tidak diketahui mana jenis definisi yang dipakai lawan dialog, maka hendaklah ditanya dulu definisi bid'ah yang dia yakini supaya dialog bisa terarah dan konsisten.
Bila ini dilakukan, maka dialog akan lancar dan akan sampai pada kesimpulan yang disepakati bersama sebab salah satu pihak bisa mengerti cara pandang pihak lainnya. Yang membuat dialog menjadi debat kusir tak berkesudahan bukan karena ada pihak yang kekurangan dalil tetapi karena keduanya tak ada yang mengerti perspektif lawannya sehingga memandang dengan kacamata kuda lalu memaksakan lawannya agar memandang seperti itu juga dengan definisi yang dia yakini saja.
Yang juga bikin runyam adalah ketika pihak yang fanatik buta dan berkacamata kuda ini kemudian membuat kaidah baru yang hanya membenarkan definisinya sendiri, seperti misalnya "kalau memang baik tentu para ulama salaf akan lebih dulu melakukannya" dan banyak kaidah lainnya. Kaidah karangan semacam ini insya Allah akan saya tulis jadi topik tersendiri saja bila Allah telah memberi waktu untuk itu.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad
30 Juni 2018 ·