Lembaga Fatwa (Darul Ifta`) Indonesia, Mungkinkah?
Barangkali ini tidak hanya menjadi kegelisahan saya. Bahkan tidak hanya kegelisahan masyarakat muslim Indonesia saja. Melainkan kegelisahan masyarakat muslim di banyak negara. Yaitu fenomena beragamnya fatwa yang muncul dari tokoh dan lembaga keagamaan. Keragaman itu tak jarang bersifat kontradiktif (saling bertentangan). Hal ini tentu menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Bahkan tak jarang berdampak pada turunnya kepercayaan (trust) masyarakat terhadap fatwa-fatwa yang dikeluarkan, baik oleh individu/tokoh maupun lembaga/organisasi.
Jika diteliti lebih seksama, sebenarnya yang terjadi bukan hanya keragaman fatwa, melainkan sudah sampai pada titik kekacauan/ketidak-beresan/kesimpang-siuran fatwa, atau dalam bahasa Arabnya : فوضى الفتوى .
Diantara penyebab munculnya fenomena ini adalah :
Pertama, munculnya orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dan kapasitas untuk berfatwa. Ada kesan di sebagian masyarakat bahwa setiap orang yang pandai berpidato, lihai berceramah dan memiliki retorika yang bagus berarti ia orang yang bisa ditanyakan semua masalah agama, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat. Ironisnya, sebagian dai dan muballigh membiarkan kesan itu melekat dalam pikiran jamaahnya. Bahkan ada yang sengaja memunculkan kesan itu pada masyarakat.
Kedua, kaburnya pengertian dan konsep fatwa di banyak kalangan, termasuk para dai, muballigh, dan para penggiat dakwah. Ada anggapan bahwa fatwa itu sama dengan petuah atau nasehat agama. Sehingga setiap dai yang menyampaikan pesan-pesan agama dianggap sedang berfatwa. Padahal sangat berbeda antara agama dengan petuah agama. Bahkan sangat berbeda antara fatwa dengan bayan (penjelasan) hukum.
Ketiga, belum adanya lembaga fatwa yang diterima dan diakui secara luas lalu dijadikan rujukan satu-satunya dalam bidang fatwa oleh pemerintah dan segenap masyarakat.
Lalu bagaimana solusinya ?
Saya melihat ada beberapa solusi yang bisa dijadikan bahan pemikiran bersama, terutama oleh MUI, organisasi-organisasi besar Islam, dan para ulama, yaitu :
Pertama, perlunya penyadaran dan tatsqif pada segenap penggiat dakwah tentang khuthurah (urgensi dan bahayanya) fatwa dalam Islam, bahwa tidak semua yang merasa atau dianggap paham agama berarti memiliki kompetensi untuk berfatwa.
Kedua, perlunya edukasi pada masyarakat tentang apa itu fatwa, masalah-masalah apa yang mesti dimintai fatwanya, dan bagaimana kriteria ulama yang bisa dimintai fatwa.
Ketiga, perlu dipikirkan untuk melahirkan Lembaga Fatwa Indonesia sebagai rujukan sentral umat Islam Indonesia dalam bidang fatwa dan hukum Islam. Lembaga ini akan dipimpin seorang Mufti Besar dan didampingi oleh mufti-mufti pembantu (أمناء الفتوى) .
Bagaimana dengan MUI?
Sebenarnya untuk mewujudkan gagasan ini, tidak perlu membuat lembaga baru. MUI bisa dikonversi menjadi Lembaga Fatwa, dan Ketua Umum MUI bisa langsung menjadi Mufti-nya.
Ide ini barangkali terkesan terlalu idealis, atau mungkin tidak realistis. Meskipun sesungguhnya berbagai negara Arab dan beberapa negara Asia seperti Malaysia, Brunei dan sebagainya menggunakan sistem ini ; Mufti. Namun boleh jadi ada yang melihat bahwa hal ini kurang cocok dengan kultur masyarakat dan budaya organisasi di Indonesia.
Ada juga yang mungkin berpandangan bahwa keberadaan lembaga ini hanya akan memunculkan monopoli fatwa dan ‘membungkam’ kebebasan berpendapat. Sebenarnya, bagi yang memahami fungsi, peran dan urgensi lembaga fatwa di berbagai negara Arab, tidak akan mengkhawatirkan hal ini, karena keberadaan lembaga fatwa bukan untuk memonopoli fatwa, tapi lebih untuk menertibkan fatwa, sehingga fatwa itu muncul dari orang yang berkompeten dan pada objek yang tepat (من أهله وفى محله).
☆☆☆
Setidaknya ide dan buah pikiran ini telah saya bentangkan kepada para ulama dan kiyai yang ada di Komisi Fatwa MUI Pusat dalam momentum 5th Annual Conference on Fatwa Studies. Makalah yang saya presentasikan berjudul: ظاهرة فوضى الفتوى ودور مجلس العلماء الإندونيسي فى علاجها “Fenomena simpang-siurnya fatwa dan peran MUI dalam menerapinya.”
Saya sangat bersyukur bahwa respon yang disampaikan para ulama di Komisi Fatwa MUI Pusat sangatlah menggembirakan dan memberikan semangat. Mereka sangat mengapresiasi ide dan gagasan ini. Meski mereka juga menekankan bahwa untuk mewujudkannya tidaklah mudah, walau tentu bukan sesuatu yang mustahil. Diperlukan keinginan bangsa, kesiapan seluruh pihak dan political will pemerintah.
Ini yang diantaranya disampaikan oleh Kiyai Malik Madani, Kiyai Abdul Rahman Dahlan, Gus Fahrur Rozi, Kiyai Zafrullah Salim, Kiyai Nurul Irfan, Kiyai Shofiyullah Muzammil dan kiyai-kiyai yang lain.
Kiyai Shofiyullah Muzammil secara khusus sangat mendukung gagasan ini. Hanya saja beliau menegaskan, ide ini akan sangat bagus kalau muncul dari bawah (bottom-up), bukan datang dari atas (top-down). Karena kalau ia muncul dari atas, maka yang akan terjadi bukanlah صديق الحكومة (mitra pemerintah) seperti slogan MUI selama ini, melainkan مصدق الحكومة (pembenar pemerintah). Beliau juga sangat mengharapkan berbagai masukan dan kritik ilmiah dari para ulama dan peneliti terhadap berbagai produk fatwa MUI yang dikeluarkan.
☆ Sebuah perubahan dimulai dari sebuah gagasan
☆ Mimpi hari ini kenyataan hari esok
☆ Selamat Milad MUI ke 46 ☆
Ulama, Umara, Masyarakat Bersama Menghadapi Pandemi Covid-19 dan Dampaknya
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
28 Juli 2021 pada 15.53 ·