BOLEHKAH KYAI TERIMA ZAKAT MAAL ?
Luthfi Bashori
Hari Senin bakdas Shubuh, waktunya penulis mengajar ilmu Tafsir di Pesantren Ribath Almurtadla, dan kebetulan tema yang dikaji adalah ayat:
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya :
(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu menyangka, bahwa mereka itu orang kaya, karena mereka memelihara diri dari minta-minta/mengemis. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta (sumbangan) kepada orang lain secara memaksa. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
SEBAGIAN ULAMA ada yang berpendapat, bahwa ayat di atas ini termasuk dalil bagi pihak yang menyatakan, tentang kebolehan seorang ulama (Kyai) untuk menerima zakat maal, namun dengan catatan antara lain sebagai berikut.
1. Sang Kyai itu konsentrasi untuk mengasuh para santri dan umat Islam hingga waktunya habis hanya untuk mengurusi pendidikan dan dakwah.
2. Kyai tersebut tidak 'nyambi' bekerja harian untuk mengumpulkan harta, sebagaimana umumnya pria dewasa, apalagi yang sudah berkeluarga, hingga sang Kyai itu merasa kehabisan waktu untuk dapat bekerja mencari ma'isyah.
3. Kyai tersebut tidak menjadikan tempat pendidikannya sebagai komoditi untuk pengumpulan kekayaan pribadi, seperti menjadikan yayasan pendidikan yang dikelolanya sebagai lahan profit orientid, tapi murni dijadikan sebagai tempat pendidikan yang bersifat sosial keagamaan.
Maka dengan rincian ini, makna dan tafsir ayat di atas kurang lebih dapat diartikan sebagai berikut:
Berinfaq dan berzakatlah kalian kepada orang-orang fakir dan orang-orang yang terikat oleh jihad di jalan Allah, termasuk kepada para Kyai yang berjihad mendalami ilmu agama serta mengajarkan kepada para santri dan kepada umat.
Para Kyai itu, tidak dapat berusaha atau bekerja mencari uang di pasar atau di kantor, karena mereka sibuk mengajar ilmunya, dan waktunya habis untuk mengurus dan mengasuh para santri serta para jamaah.
Orang lain yang tidak tahu hakikat kehidupan para Kyai itu, menyangka bahwa para Kyai tersebut termasuk golongan orang kaya, karena ada di antara para Kyai itu memiliki rumah besar, memiliki mobil bagus, dan kekayaan dhahir lainnya, padahal tidak jarang rumah dan mobil para Kyai itu justru diperoleh dari sumbangan/hadiah dari masyarakat, atau ada juga yang berasal dari warisan keluarga.
Hal itu karena para Kyai tersebut selalu menjaga dan memelihara diri dari minta-minta/mengemis, apalagi dengan secara memaksa. Cara kalian mengenal mereka semestinya dengan melihat sifat-sifat para Kyai tersebut, yang tidak meminta-minta dan tidak mengemis (sumbangan) kepada pihak lain secara memaksa, karena masih mempunyai rasa malu atau sungkan.
Dalam kitab I’anah al-Thalibin juga dijelaskan:
وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا (أَىْ الْفَقْرْ وَالْمَسْكَنَةَ) أَيْضًا اِشْتِغَالُهُ عَنْ كَسْبٍ يُحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ أَوْ باِلْفِقْهِ أَوِ بِالتَّفْسِيْرِ أَوِالْحَدِيْثِ أَوْ ماَ كاَنَ لَهُ آلةً لِذَلِكَ وَكَانَ يَتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّ غَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعَدَّيْهِ وَكَوْنِهِ فَرْضَ كِفاَيَةٍ.
(إعانةالطالبين، ج ٢، ص ١٨٩)
“Termasuk sesuatu yang tidak dapat mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang (Kyai) yang meninggalkan kasab (bekerja) yang dapat memperbaiki ekonomi keluarganya, karena waktunya habis tersita untuk menghafal al-Qur’an, memperdalam ilmu Fiqh, Tafsir, atau Hadits, ataupun ia sibuk melaksanakan sesuatu yang menjadi wasilah tercapainya ilmu tersebut.
Maka terhadap orang-orang (para Kyai) tersebut bolehlah diberikan zakat (maal), agar mereka dapat konsentrasi melaksanakan kegiatan dakwah-nya itu secara optimal.
Sebab manfaatnya juga akan dirasakan oleh masyarakat umum. Apalagi perbuatan (mendalami ilmu agama dan menyebarkannya) itu merupakan fardhu kifayah.”
(I’anah al-Thalibin, juz II, hal 189).
Umumnya, para Kyai yang mukhlis karena Allah, jika mereka mendapat sedikit rezeki, akan disalurkan untuk pembenahan-pembenahan fasilitas bagi para santri.
Bagaimana kiranya jika ada 10 orang kaya misalnya, yang mau menyalurkan zakat maal-nya, sebut saja setiap orang memberikan kepada sang Kyai itu Rp 100 juta dari zakat maalnya. Maka akan terkumpul Rp 1 miliyar.
Tentu oleh sang Kyai akan dipergunakan untuk memperluas dan mengembangkan serta memajukan tempat pendidikan yang dikelolanya.
Jika umat Islam secara seragam berpikir seperti ini, maka dapat diharapkan ke depan umat Islam akan mengalami kemajuan yang baik, karena mayoritas pimpinan umat saat itu adalah para alumnus pesantren yang kualitas keimanannya dapat diandalkan.
Sumber FB Ustadz : Luthfi Bashori
13 Juli 2021