Apakah Haqiqat itu?
Dinyatakan dalam Nazam Hidayatul Adzkiya'
ﻭَﺣَﻘِﻴْﻘَﺔٌ ﻟَﻮُﺻُﻮْﻟُﻪُ ﻟِﻠْﻤَﻘْﺼَﺪِ
ﻭَﻣُﺸَﺎﻫﺪٌ ﻧُﻮﺭَ ﺍﻟﺘَّﺠَﻠِّﻲْ ﺑِﺎﻧْﺠَﻠَﺎ
"Hakikat itu adalah sampainya seorang salik pada maksud tujuan (makrifat kepada Allah), seraya menyaksikan kilatan cahaya ilahiyah"
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip Sayyid Abi Bakr dalam Kifayatul Atqiya menyatakan bahwa makna tajally adalah apa-apa yang tersingkap oleh hati dengan penyaksian cahaya-cahaya keghaiban.
Syekh Nawawi Banten mengutip ujaran sebagian ahli tasawuf menyatakan bahwa hakikat itu adalah memahami hakikat-hakikat sesuatu, antara lain memahami rahasia-rahasia al-Qur’an, memahami ilmu-ilmu ghaib yang tidak mampu disingkap oleh pembelajar.
Kemudian melanjutkan capaian ini, penazam mengingatkan proses di awal, ketika melambangkan syariat, thariqah dan haqiqah, dengan urutan capaiannya,
ﻣَﻦْ ﺭَﺍﻡَ ﺩُﺭًّﺍ ﻟِﻠﺴَّﻔِﻴْﻨَﺔِ ﻳَﺮْﻛَﺐُ
ﻭَﻳَﻐُﻮْﺽُ ﺑَﺤْﺮًﺍ ﺛُﻢَّ ﺩُﺭًّﺍ ﺣَﺼَﻠَﺎ
"Sesiapa yang ingin mendapatkan intan mutiara, hendaknya naik perahu, menyelam ke dasar samudera dan kemudian mengambilnya"
Sehingga barangsiapa yang menghendaki capaian hakikat, yang diserupakan dengan intan mutiara, maka hendaknya menempuh jalur syariat yang diserupakan dengan perahu, kemudian menempuh jalur thariqah yang diserupakan dengan lautan atau samudera. Karena, tak akan dicapai hakikat, melainkan setelah harus menempuh jalur keduanya. Ketiganya adalah saling berlaziman dan berurutan. Karena itulah penazam kemudian berkata,
ﻭَﻛَﺬَﺍ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻘَﺔُ ﻭَﺍﻟْﺤَﻘِﻴْﻘَﺔُ ﻳَﺎ ﺃَﺧِﻲْ
ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﻓِﻌْﻞِ ﺷَﺮِﻳْﻌﺔٍ ﻟَﻦْ ﺗُﺤْﺼَﻠَﺎ
"Wahai saudaraku
Thariqah dan haqiqah itu tidak akan bisa engkau raih kecuali dengan menjalani syariah"
Kesimpulannya bahwa thariqah dan haqiqah itu bertumpu pada syariah.
Bahwa awal kewajiban bagi seorang mukallaf adalah syariah. Barang siapa mengamalkan syariah, maka dengan pertolongan Allah, akan dimudahkan masuk pada pintu-pintu mujahadah, yang tiada lain adalah bentuk thariqah. Dan barangsiapa yang mengamalkan thariqah, maka akan tampak kepadanya cahaya-cahaya hakikat.
Seorang mukmin yang walaupun derajat dan kedudukan spriritualnya sedemikian tinggi, sehingga tergolong wali, maka tetap saja ibadah-ibadah fardhu dalam Quran dan sunnah tetap wajib ia kerjakan.
Siapa saja yang menganggap bahwa seorang wali yang telah sampai pada hakikat itu telah gugur kewajiban bersyariat, maka ia termasuk seorang yang sesat dan menyesatkan.
Para nabi saja tetap berkewajiban melaksanakan ibadah, apalagi para wali. Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam sendiri ketika shalat sampai pernah membengkak kedua telapak kaki beliau, dan ketika suatu saat ditanya dijawab oleh Rasulullah bahwa ibadah beliau itu sebagai aplikasi seorang hamba yang bersyukur.
Demikianlah, sebagaimana dinyatakan Imam al-Ghazali, syariat itu adalah beribadah kepada Allah, sedangkan hakikat itu adalah menyaksikan Allah.
Atau sebagaimana dinyatakan Imam al-Qusyairy, "Syariat itu adalah urusan tentang kewajiban-kewajiban peribadahan, sedangkan hakikat adalah penyaksian ketuhanan.
#Kajian Hidayatul Adzkiya' yang disyarahi Kifayatul Atqiya' dan Salalimul Fudhala' 5
Sumber FB Ustadz : Yusuf Suharto
6 Juni 2021 pada 03.43 ·