Renungan Sikap Terhadap Qaul Dloif
Ada pendapat yang tergolong dloif tetapi saya pribadi menganggapnya baik untuk dipakai karena beberapa alasan. Sepertinya kebanyakan orang alim yang saya tahu juga demikian. Biasanya ada saja satu dua pendapat di mana dia secara pribadi cenderung pada pendapat yang dia tahu bahwa itu dloif dalam mazhab tetapi baginya secara pribadi kuat.
Tapi kalau dalam fatwa yang berlaku umum kok yang dipilih kebanyakan yang dloif-dloif, yang qila wa qala, bahkan dengan cara talfiq asal ujungnya bisa boleh, maka kok rasanya gimana gitu. Saya kira baik bila umat diberi fatwa mu'tamad yang menyatakan bahwa ini haram menurut mazhab kita atau ini tidak sah menurut mazhab kita sebagai edukasi bagaimana beragama dengan baik. Bukankah ketaatan dalam beragama dapat diukur dari sejauh mana seseorang patuh agar tidak melanggar larangan? Tentu yang namanya larangan itu tidak enak dan menyulitkan.
Kalau bicara etika fatwa, kebanyakan ulama menjelaskan bahwa berfatwa dengan qaul dloif dilarang meskipun mereka memperbolehkan li amalin nafsi. Pedoman ini sepertinya mulai luntur seiring tuntutan untuk "mempermudah" semua hal, bahkan urusan qaul pun juga terkena dampaknya. Hal lainnya adalah hilangnya kesadaran publik bahwa fatwa adalah keputusan yang berlaku spesifik pada kasus tertentu di masa tertentu dalam keadaan tertentu dan pada orang tertentu. Karena itu maka seharusnya fatwa tidak bisa di-copy paste di tempat lain, keadaan lain, waktu lain dan oleh orang lain karena pasti ada konsiderannya yang luput.
Ketika sekarang di era medsos banyak beredar fatwa serba boleh yang di-copy dari begitu banyak sumber di begitu banyak tempat dan begitu banyak mazhab, maka diakui atau tidak kecenderungan kalangan awam untuk tatabbu'ur rukhash (cari yang enteng-enteng) makin membesar. Selain dalam bab ma yu'lamu minad-din bidh-dharuroh, apa sih yang sekarang masih dianggap tidak boleh?
Mirisnya, ada kecenderungan orang awam merasa nyegoro apabila mengoleksi fatwa kebolehan dalam setiap kasus mukhtalaf fih. Seolah-olah qaul yang mu'tamad menjadi tidak keren dan yang dloif menjadi hal yang patut dikoleksi atau dipamerkan dengan bangga sebagai "solusi" agar serba mudah.
Memang betul ada kaidah super yang wajib kita pakai dalam menyikapi ikhtilaf, yaitu:
لا ينكر المُخْتلف فيه، وإنما ينكر المُجمَع عليه
Akan tetapi jangan sampai itu membalik wacana seolah tidak ada yang namanya qaul dloif sebab kecenderungan sekarang ini semua dinarasikan setara. Biarlah yang mu'tamad kita agung-agungkan dan kita promosikan meskipun kadang sulit. Dan biarkan yang dloif-dloif tetap dikenal sebagai "pendapat pinggiran" yang tidak keren untuk dipakai apalagi dipromosikan.
Saya tahu betul bahwa ada qaul yang memperbolehkan menggunakan qaul dloif, boleh intiqal mazhab, boleh talfiq, boleh tatabbu'ur rukhash dan serba boleh lainnya. Apalagi kalau bicara di level ekademis terbatas, tentu ini topik-topik yang bisa diperdebatkan, apalagi sebagian ahli berkata bahwa al-'ami la mazhaba lah. Jadi tak perlu rasanya kita membahas ibarotnya sebab sama-sama tahu. Tetapi apa dampaknya bagi agama bila paradigma kita adalah agar semua serba boleh? Di mana penghargaan kita pada ijtihad para imam dan pendapat resmi yang dianut mayoritas ulama? Untuk apa juga bermazhab bila ujungnya sering ke luar mazhab? Untuk apa repot-repot belajar ushul fikih yang sejatinya dibuat sebagai filter agar tahu mana istinbat yang unggul dan mana yang tidak apabila akhirnya dipilih qaul yang ringan-ringan? Di sinilah barangkali kita patut merenung.
Sekedar uneg-uneg yang malas untuk diperdebatkan.
Abdul Wahab Ahmad.
Jember, Ramadhan 2021
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
3 Mei 2021