Menempatkan Ulama Secara Proporsional
Sebelum menempatkan ulama di zaman ini sebagai mujtahid, apalagi mujtahid mutlak, hendaknya kita memahami terlebih dahulu pengertian mujtahid, syarat-syaratnya, tingkatan-tingkatannya, dan kualifikasinya secara benar, sebagaimana muta'arraf (dikenal) di sisi para ulama. Dengan demikian, kita bisa menempatkan setiap ulama secara proporsional (sesuai posisi yang semestinya), tidak berlebihan, tapi juga tidak merendahkan. Ini merupakan salah satu bentuk sikap inshaf (adil) yang wajib untuk kita aktualisasikan. Jika belum, lebih baik kita menahan diri.
Menempatkan seorang ulama yang tidak masuk kualifikasi mujtahid sebagai seorang mujtahid, adalah tindakan yang tidak semestinya dilakukan. Bahkan bisa masuk katagori perbuatan ghuluw (melampau batas) dan ta’ashub (fanatisme buta). Walaupun mungkin awalnya dimaksudkan untuk memuliakannya, tapi hakikatnya justru merendahkannya. Yang bersangkutan pun kemungkinan besar juga tidak ridha diperlakukan seperti itu.
Dalam sebuah hadits dari sayyidah Aisyah radhiallahu anha : “Ada seorang peminta lewat di depan Aisyah, lalu beliau (Aisyah) memberinya sepotong roti. Lalu ada lagi yang lewat di depan beliau dengan pakaian lusuh/rusak, lalu beliau mengajaknya duduk dan diberi makan. Ada yang bertanya kepada beliau tentang hal ini (kenapa keduanya diperlakukan berbeda). Lalu Aisyah berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
أَنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
“Tempatkan manusia sesuai kedudukannya masing-masing.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (4842), Al-Baihaqi dalam “Syu’abul Iman” (13/367), Ibnu Abi Ashim dalam “Az-Zuhud” (90), dan selainnya. Sanad hadits ini dilemahkan oleh sebagian ahli hadits karena salah satu perawinya, yaitu Maimun, tidak bertemu dengan Aisyah ra. Akan tetapi, secara dirayah (makna), benar, karena didukung oleh dalil-dalil lain yang shahih.
Sebaliknya, menempatkan ulama di zaman ini “bukan sebagai mujtahid” karena faktanya memang demikian, bukan berarti merendahkannya sebagaimana diamsusikan oleh sebagian orang. Bahkan hal itu sebenarnya sebagai bentuk pemuliaan kepadanya. Yang diperlakukan demikian pun juga akan senang karena telah ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barang siapa yang merasa puas dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya, sebagaimana seorang yang memakai dua pakaian kebohongan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Seorang perawat, jangan jangan dikatakan dokter, seorang dokter umum, jangan dikatakan dokter specialis. Tapi, sampaikan saja apa adanya. Karena tanggungjawab dan resikonya sangatlah besar dan berat. Coba bayangkan ! Jika ada seorang yang sakit kanker berobat ke seorang perawat berdasarkan “rekomendasi palsu” (diklaim sebagai dokter specialis kanker), lalu orang tersebut justru tambah parah atau meninggal, siapa kira-kira yang akan bertanggungjawab ? Ini baru urusan dunia, lalu bagaimana dengan urusan agama/akhirat ?
Dari sini kita tahu, akan pentingnya belajar ilmu ushul fiqh sebelum belajar fiqh, serta pentingnya belajar fiqh dengan metode mazhab (khususnya mazhab yang empat) yang telah diwariskan oleh para ulama Salaf secara tadarruj (bertahab). Dengan demikian, insya Allah pemahaman kita akan lebih terarah, terstruktur, terukur, serta terminimalisir dari berbagai kesalahan yang mungkin terjadi. Barakallahu fiikum.
(Abdullah Al-Jirani)
#ushulfiqh #fiqhmazhab #mazhabsyafii #pentingnyabermazhab #semangatmengedukasiumat
baca juga kajian tentang ulama berikut :
- Sikap Ulama Kepada Kedzaliman Penguasa
- Makna Kullu Menurut Para Ulama
- Istighotsah Antara Ibn Taimiyah, Salafi Wahabi dan Ulama Aswaja Lain
- Ijma' Ulama Terkait Keharaman Hutang Berbunga
- Ziarah Wali Tradisi Ulama Salaf dan Kholaf
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
31 Mei 2021 ·