Jangan Sampai Dimakan Zakat
by. Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Pertama kali saya tahu hadits shahih yang memerintahkan kita memutar uang biar harta milik anak yatim agar tidak habis dimakan zakat, saya rada bengong tidak paham.
Umar –radhiyallahu ‘anhu- meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :
اتجروا بأموال اليتامى لا تأكلها الزكاة
“Kembangkanlah harta anak-anak yatim, sehingga tidak termakan oleh zakat”. (HR. Ad Daruquthni dan Baihaqi)
Lafadz ini oleh Al-Baihaqi dishahihkan. Namun sebagian kalangan mengatakan sebenarnya itu bukan perkataan Rasulullah SAW, melainkan atsar dari Umar bin Al-Khattab sendiri. (Lihat : Al-Muwaththa' jilid 1 hal. 257)
1. Harta Anak Yatim Kok Diputar?
Padahal yang namanya harta anak yatim itu harusnya malah kita pelihara dan kita jaga. Jangan main-main dengan harta anak yatim, nanti kualat dan bla bla bla.
Lha hadits ini kok malah lucu ya. Kok kita malah disuruh menggunakannya sebagai modal usaha? Apa nggak takut malah masuk neraka?
2. Biar Tidak Termakan Zakat
Ini juga aneh sekali. Sebab selama ini saya tahunya semua harta kena zakat, khususnya kalau kita berbisnis.
Dimana-mana para ustadz yang pada ceramah itu memerintahkan para penguasa dan pebisnis untuk mengeluarkan sebagian hasil usahanya untuk dizakati.
Lha ini kok malah bisnis memutar harta biar tidak termakan zakat?
Bukannya karena harta itu dibisniskan, malah kena zakat?
Jelas dulu saya bingung sekali dengan hadits yang satu ini. Kok haditsnya aneh banget. Seolah-olah bertabrakan 180 derajat dengan apa-apa yang diceramahkan para ustadz.
Jangan-jangan hadits itu dhoif?
Ternyata memang ada yang mendhaifkan seperti Al-Albani. Namun ada juga riwayatnya yang dishahihkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi jilid 8 hal. 88. Juga bisa kita baca dalam Al-Majmu' jilid 5 hal. 792 dan Nashburayah hal. 331.
Ternyata . . .
Yang dimaksud menggunakan harta anak yatim untuk bisnis tentu saja harus dilakukan oleh kalangan pebisnis yang sudah kawakan dan kaya raya.
Bukan oleh orang yang baru coba-coba usaha. Apalagi yang sama sekali tidak pernah bisnis, tentu saja pasti rugi dan hanya akan menghabiskan harta anak yatim saja.
Sedangkan kalau diputar oleh pebisnis kawakan yang kaya pengalaman bisnis, tentu ada jaminan tidak akan merugi. Kalau pun rugi, maka dia siap mengganti kerugian. Toh, dia sendiri orang kaya. Bisnisnya dimana-mana ada.
Dan yang paling penting justru yang kedua : bahwa harta yang diputar untuk bisnis ternyata justru tidak terkena zakat.
Dan kesimpualn fiqih ini justru terbalik di mata para aktifis zakat yang melotot melihat dunia usaha sukses. Lalu dia samakan saja antara zakat dengan pajak.
Padahal filosofi antara keduanya amat bertentangan jauh sekali. Pajak itu menyasar pada bisnis yang sukses, sedangkan zakat justru menjauh dari bisnis yang sukes. Zakat hanya menyasar kepada harta (emas dan perak) yang ditimbun dan tidak diputar sebagai usaha.
Kata kuncinya justru pada kata kanzun (كنز), yaitu menimbun harta. Harta yang ditimbun itu berarti harta yang diam, hanya disimpan, tidak diinvestasikan.
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. At-Taubah : 34)
Kalau harta tidak ditimbun tapi diputar, diinvestasikan, dijadikan usaha, maka justru tidak terkena zakat. Bukan malah dikejar-kejar suruh bayar zakat.
Mungkin kalau dikejar suruh bayar pajak sih ok-ok saja. Tapi kok malah dikejar zakat? Ini logika dari mana?
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
12 Mei 2021