Jangan Ngaji Dari Internet?
Ungkapan macam ini sering kita dengar sebagai nasehat dalam belajar agama.
Para kiyai dan guru serta para ulama sering kali melarang kita belejar agama lewat internet. Termasuk guru saya almarhum KH. Ali Musthafa Ya'qub. Di ruang kuliah beliau kerap mengomeli kita mahasiswanya : Ngaji kok sama Mbah Google?
Namun sebenarnya larangan untuk tidak belajar agama lewat internet tidak mutlak juga. Ya pilih-pilih juga siapa nara sumbernya.
Kalau yang ceramah sekelas Syeikh Dr. Ali Juma'ah, Grand Syeikh Dr. Ahmad Thayyib, Dr. Wahbah Az,-Zuhaili, Dr. Said Ramadhan Al-Buthi, Syeikh Dr. Hasan Hitou, tentu jadi lain ceritanya.
Sebab mereka termasuk ulama rujukan umat yang memang pakar di bidangnya.
Jadi bukan tidak boleh mengaji via internet, tapi yang tidak boleh itu kalau yang bikin konten bukan pakar di bidangnya.
Seperti pendeta mualaf yang bicara fiqih. Artis insaf nyalah-nyalahin ulama. Motivator sok kritik aqidah. Penyanyi rohani mempermasalahkan bid'ah. Pesinetron ngeributin Sunnah.
Padahal tak satu mereka yang pernah belajar ilmu agama lewat jalur yang serius. Cuma dari gaul doang, hasil cerita dan ngobrol-ngobrol agama. Tidak pakai kitab dan tanpa guru resmi berstatus ulama ahli di bidang salah satu cabang displin ilmu agama.
Kalau ditracing satu per satu riwayat pendidikan agamanya, pasti parah banget.
Yang langsung gampang terdeteksi itu masalah penguasaan ilmu alat, seperti nahwu Sharaf. Kasih satu baris ayat Qur'an dan suruh mereka mengi'rab kata per kata. Pasti langsung panas dingin, gemeteran dan pucat pasi wajahnya.
Jadi yang dibilang jangan ngaji dsri internet iti maksudnya kalau yang jadi narasumbernya tokoh-tokoh yang bukan ahli di salah satu disiplin ilmu agama.
Sayangnya,justru yang model begini lah yang mendominasi konten-konten keagamaan di media sosial. Sehingga kesannya, internet itu isinya sampah doang.
Sayangnya lagi, para ulama yang betulan punya ilmu masih malu-malu untuk bikin konten di media sosial. Ini bahasa halus saya saja.
Sebenarnya saya ingin bilang bahwa mereka itu kalah strategi dan kecolongan, tapi belagak tidak tahu dan pasrah, tidak mau usaha. Tidak merasa geram dengan maraknya kejahilan di depan mata.
Padahal menurut saya, jihad ilmu di media sosial adalah medan perang kita yang nyata dan sesungguhnya. Dan namanya jihad, pasti butuh biaya. Minimal buat kuota, kamera dan printilannya.
Kalau dalam ayat zakat disebutkan bahwa fi Sabilillah itu salah satu asnaf penerima zakat, maka alokasi beli peralatan 'perang cyber' nampaknya perlu dipikirkan matang-matang.
Tapi perang cyber yang saya maksud bukan jadi buzzer yang ngeributin urusan politik. Perang cybernya adalah dengan membanjiri medsos dengan ilmu-ilmu keislaman yang original.
Dan yang bisa melakukannya hanya para ulama yang berkompeten di bidangnya.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
5 Mei 2021