Para Pelajar Sains Dan Para Pelajar Agama, Yuk Kita Dalami Bidang Masing-Masing.
Beberapa bulan yang lalu saya pernah berdiskusi dengan ayah saya, tentang bagaimana membuat sebuah sistem pendidikan yang bisa menciptakan seorang ulama yang multi-disipliner (mutafannin) dalam semua cabang ilmu, baik sains dan agama. terkhusus, pada tingkatan setara Smp-Sma-S1.
Saya berpendapat kelemahan umat islam saat ini ialah, karena sains dan agama sudah benar-benar didikotomi. sehingga, para ulama benar-benar “buta” sains, dan orang sains juga sebaliknya.
Saya berdalih dengan, karena di zaman dulu bisa kok ada seorang yang benar-benar multi-disipliner dalam ilmu agama dan ilmu sains seperti: Ibnu Sina, Hujjatu al-Islam al-Ghazali, Imam Fakhr al-Din al-Razi, dll.
Lalu, ayah saya berpendapat : untuk hari ini sangatlah sulit. Karena, untuk menguasai ilmu agama saja saat ini sudah sangat luas -dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang ada-, terlebih lagi jika harus mengusai sains juga. Ditambah juga dengan kondisi sains zaman sekarang, yang sudah sangat berbeda dengan sains saat itu karena baru cikal bakalnya saja.
Kalaupun bisa, mungkin seseorang dapat menguasai agama secara meluas dan mendalam. namun, dalam bidang sains, hanya mengetahui hal yang sifatnya fundamental saja. Atau mungkin paling jauh mengambil satu spesialisasi saja dalam sains. Sedangkan, bila harus meluas juga sangat sulit.
Sebelumnya saya pernah dengar juga pendapat seperti ini ketika disampaikan oleh Prof. Yasien Mohamed (mantan dosen di ISTAC, Malaysia).
Yaitu, ketika beliau mengatakan di kuliah umumnya di ABIM cabang Mesir -yang saya sadur-: “ Untuk saat ini sangat sulit untuk ada seorang seperti ibnu sina,dll lagi, yang menguasai Sains dan Agama secara meluas dan mendalam secara bersamaan.
Yang mungkin kita lakukan bila ingin “membangunkan umat islam”, ialah membentuk sebuah tim antara para pelajar agama dan para pelajar sains untuk kemaslahatan agama.
Jadi, kalian yang mendalami agama dalamilah agama, namun jangan lupa pelajari hal-hal fundamental dalam sains. Begitupun kalian para pelajar sains, dalamilah sains kalian, namun jangan lupa pelajari hal-hal fundamental dalam agama.
Nanti, setelah kalian menjadi pakar dalam bidang kalian masing-masing. Maka, bahu-membahulah untuk kemaslahatan umat islam”
Jujur, saya cukup terkejut dengan pernyataan beliau saat itu. Bahkan ketika itu, saya cenderung tidak “memberikan perhatian yang besar” ke pendapat itu.
Kembali ke diskusi bersama ayah saya. Dimana, ayah saya juga kurang lebih menyatakan hal yang sama. Namun, saat itu saya masih ragu dan belum yakin.
Karena kapasitas Prof. Yasien -setau saya saat itu- sebagai spesialisasi bahasa arab bukan sebagai ilmuwan sains, sehingga saya rasa mungkin pendapat beliau dapat dipertimbangkan untuk ilmu bahasa arab/ ilmu agama namun tidak untuk sains, begitupun anggapan saya ke ayah saya.
Namun akhir 2020 kemarin, kebetulan saya diberikan kesempatan untuk mengikut Forum online yang diadakan dari Malaysia, yaitu dari Hakim (Himpunan Keilmuan Muslim) dan RZS-Casis (Pusat Kajian Tinggi Islam, Sains, dan Peradaban Raja Zarith Sofiah), UTM.
Dimana, dalam forum ini para peserta diajak berdiskusi mengenai Islamic Worldview -diksi yang dipilih oleh Maulana Sayyid Naquib Alatas-, atau -bila kita menggunakan diksi yang dipilih oleh Maulana Syaikh ‘Ali Jum’ah- Islamic Paradigm.
Salah satu pembicaranya bernama Prof. Alparslan Açıkgenç, beliau merupakan pakar Epistemology and Sociology of Science. Pernah menjadi dosen di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia, dan banyak universitas lintas-benua.
Lagi-lagi, saya pun dikejutkan dengan pernyataan Prof. Alparslan Açıkgenç -yang notabenenya, kalo ini- beliau memang pakar dalam ilmu Sains dan Filsafat.
Karena beliau pun juga menyatakan hal yang sama, bahkan beliau sampai menambahkan bahwa ilmu sains hari ini sudah berkembang jauh lebih pesat dari zaman dimana Ibnu Sina, dll hidup.
Sehingga, andai ada seseorang yang hari ini mempunyai intelektual sangat tinggi dan hanya mendalami ilmu sains saja, maka ia juga belum tentu dapat menguasai seluruh bidangnya.
Ketika Prof. Alparslan mengatakan itu, membuat teringat dengan perkataan ayah saya ketika diskusi, juga kuliah umum yang diberikan oleh Prof. Yasien Mohamed di ABIM cabang Mesir.
Semenjak itu, pandangan saya mulai berubah. Dari yang tadinya saya berpandangan untuk “membangunkan umat islam dari tidurnya”, kita harus menjadi ulama yang multi-disiplin baik dalam ilmu agama dan ilmu sains secara bersamaan. Namun, ketika mendengar penjelasan Prof. Alparslan, maka sekarang mengamini apa yang dikatakan oleh Prof. Yasien Mohamed.
Yaitu, bila kalian merupakan pelajar agama, maka fokuslah dalam bidang kalian. Namun, jangan lupakan hal-hal yang sifatnya fundamental dalam Sains.
Begitupun dengan pelajar Sains, fokus saja dengan bidang kalian. Kalo bahasa betawinya: “Gak usah loncat-loncat ke wilayah spesialisasi yang lain, hehe”, tapi jangan lupa pelajari hal-hal dasar dalam bidang agama.
Mungkin sempat terselip di benak kita semua: “tapi kan ilmu sains itu ilmu dunia, memangnya ilmu dunia ada manfaatnya ya ? “.
Untuk menjawab pertanyaan ini, -bila berkenan, maka izinkan saya untuk mengutip- maka permasalahan ini juga sudah dibahas oleh Maulana Syaikh Muhammad Muhammad Abu Musa, beliau dikenal dengan Syaikh al-Balaghiyyin di al-Azhar. Dimana saat ini beliau merupakan anggota Hayah Kibar Ulama al-Azhar.
Dalam salah satu bukunya, yang dirilis oleh Majelis Hukama al-Muslimin (Muslim Council of Elders), yang berjudul Min Madakhil al-Tajdid (Introductions to Renewal of Religious Sciences). Beliau mengatakan:
قال شيخ البلاغيين مولانا محمد أبو موسى -حفظه الله تعالى- في الكتاب "من مداخل التجديد"
"
ولا شك أن كل ما تحتاجه الأمة في حياتها هو من الدين، وأن القول بأن هناك علومَ دينٍ وعلومَ دنيا ينبغي أن يُفهم على وجهه؛ فإذا كان علم الطب ضرورةً لحياة الأمة؛ فهو من علوم الدين، وكان الشافعي له حلْقة يدرّس فيها فقها، وحلقة يدرّس فيها طبا، وهكذا قل في بقية العلوم؛ كالأحياء والرياضيّات والكيمياء والفيزياء.
ولا فرق بين عالم انقطع لدراسة الفقه وبيان الحلال والحرام، وعالم انقطع في معمله يبحث عن شيء تقوم عليه صناعة جديدة تزيد في قوة الأمة، وتدفع بها عن أرضها وأعراضها، والمهم هو توفر النيات الصالحة؛ فإذا استحضر هذا العالم الساكن في معمله أنه يقدم لأمته ما يجلب لها نفعا أو يدفع عنها أذى، فهو في عبادته وفي ذكره.
وكان علمائنا يقولون: النيات الصالحات تحول المباحات إلى طاعات، فكيف بعلوم الأمة في أشد الحاجة إليها ؟! "
“ Dan tidak diragukan lagi, bahwa seluruh yang dibutuhkan umat islam dalam keberlangsungan hidup mereka itu merupakan bagian dari agama.
Adapun, pendapat yang mengatakan bahwa -adanya pembagian ilmu, yaitu- ada ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia, maka kita harus memahaminya dalam konteksnya.
Dan bilamana ilmu kedokteran itu kebutuhannya sudah sangat mendesak bagi kehidupan umat islam, maka ia merupakan bagian dari ilmu agama.
Dahulu, Imam al-Syafi’ sendiri mempunyai halaqah sendiri untuk mengajarkan Ilmu Fiqih, dan juga mempunyai halaqah sendiri untuk mengajarkan ilmu kedokteran.
Dan ketentuan ini juga berlaku pada ilmu-ilmu yang lain. Seperti: ilmu biologi, ilmu matematika, ilmu kimia, ilmu fisika.
Dan tidak ada perbedaan -saya kira konteksnya dari segi pahala- antara seorang pakar yang menekuni hari-harinya untuk belajar ilmu fiqih agar bisa menjelaskan perkara yang Halal dan Haram, dengan seorang pakar yang menekuni hari-harinya di dalam “tempat kerja”nya, meneliti akan perkara yang dengannya ia mampu membuat produk baru yang akan menambah kapabilitas umat islam, dan dengannya -juga- ia bisa membela tanah air dan kehormatannya.
Yang paling penting ialah, mempunyai niat yang benar. Jadi, apabila seorang pakar yang menghabiskan waktunya di “tempat kerjanya” ini, ia mempersembahkan perkerjaannya untuk umat islam agar bisa mendapat manfaat dan mencegah kehinaan. Maka, apa yang ia lakukan terhitung dalam beribadah dan berdzikir kepada-Nya.
Dahulu, para ulama kita mengatakan: niat yang benar mengubah hal-hal yang mubah menjadi ketaatan. Lantas, bagaimana dengan ilmu-ilmu yang dimana umat islam sudah benar-benar dalam keadaan terdesak membutuhkannya ?”
Sebelumnya, permasalahan Tajdid Khitab al-Dini dan Tajdid al-Fikri al-Islami menjadi perbincangan yang sangat hangat di dunia keilmuan umat islam hari ini. Bahkan al-Azhar kemarin mengadakan satu mu’tamar khusus mengenai masalah ini pada awal 2020 kemarin.
Namun, pada tulisan kali ini saya tidak ingin membahasnya. Selain, saya merasa bahwa diri ini belum pantas berbicara masalah tajdid disin , juga perkara ini merupakan hal yang sangat besar dan rumit.
Pada akhirnya, yang ingin saya sampaikan ialah, kita -sebagai pelajar- yang sudah berkecimpung dalam dunia spesialisasi masing-masing tidak usah kecewa dengan spesialisasi apapun yang kita dalami. Selama spesialisasi itu bermanfaat bagi umat islam dan kita lakukan semuanya hanya mengharap ridha dan rahmat-Nya. Semua yang kita lakukan akan tercatat rapi dalam catatan amal kita.
Karena, sebagaimana umat islam membutuhkan mereka yang bisa menjelaskan perkara agama mereka, umat islam juga membutuhkan mereka yang mampu menyelesaikan persoalan dunia mereka.
Sampai saat ini secara pribadi, saya cenderung berpendapat bahwa kita tidak boleh merasa mempunyai otoritas terhadap rahmat-Nya. Karena rahmat Allah itu murni prerogatif-Nya sebagai Tuhan pencipta seluruh alam.
Dan kita tidak akan pernah tau, lewat amalan yang mana yang menjadi wasilah kita menuju rahmat-Nya. Bahkan seorang wanita “pendosa” saja bisa masuk surga, “hanya karena” memilih mendahulukan memberi minum seekor anjing kehausan dibanding dirinya.
Mudah-mudahan, bidang apapun yang kita tekuni menjadi wasilah yang akan mengantarkan kita kepada rahmat-Nya.
Muhammad Al Fatih Mubarok.
Kairo, 26 Januari 2020.
Keterangan foto:
1. Buku Maulana Syaikh Muhammad Muhammad Abu Musa (anggota Hayah Kibar Ulama al-Azhar), dimana saya mengutip kalimat beliau itu dari halaman 14-15 dalam buku ini.
2. al-Azhar mengapresiasi para dokter yang berjuang dalam menghadapi pandemi ini.
3. Kutipan dari pernyataan Imam al-Ghazali, dimana saya ambil dari fanspagenya Maulana Syaikh Ahmad Hussein al-Azhary
4. Akhir tahun 2019 di sekretariat ABIM Cabang Mesir bersama Prof. Yasien Mohamed (mantan dosen di International Institute of Islamic Thought and Civilisation (ISTAC-IIUM).
5. Hikma Forum pada akhir desember 2020, yang diadakan secara online.
6. Sesi bersama Prof. Alparslan Açıkgenç dalam Hikma Forum 2020.
Sumber FB : Muhammad Al Fatih Mubarok
26 Januari 2021 pada 18.12 ·