Mengkaji ‘Illah Dalam Hukum Shurah
Oleh : Yendri Junaidi
[Tulisan ini diperuntukkan bagi mereka yang ingin mengetahui hukum menggambar lebih jauh, tidak mengandalkan postingan yang dibuat secara buru-buru, atau artikel yang menyorot masalah ini dari satu sudut pandang tertentu dan tidak menyajikan duduk masalah secara utuh.
Bagi yang tidak ingin mengkaji hal ini karena sudah yakin dengan pendapat sendiri, atau menilai pembahasan ini hanya buang-buang waktu di saat banyak kewajiban yang menunggu, atau khawatir akan terganggu dengan cara pandang yang baru, atau akan semakin bingung karena banyaknya pendapat yang diusung, disarankan untuk lewat dengan segala hormat].
***
Terlepas dari perdebatan tentang avatar, ada baiknya kita kaji hukum shurah (gambar) dan tashwir (menggambar) secara umum. Walaupun memang, tidak mudah menyajikan resume dari sebuah permasalahan yang telah memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama secara luas dalam tulisan yang terbatas. Perbedaan itu muncul karena hadits-hadits yang berbicara tentang masalah ini sangat beragam. Sebagian bahkan ada yang muta’aridhah (kontradiktif), padahal sama-sama shahih. Walaupun ada usaha untuk melakukan al-jam’u (kompromi) antar berbagai hadits itu, namun beberapa darinya terkesan terlalu dipaksakan (takalluf).
***
Secara bahasa, kata shurah (الصورة) berarti مثال الشيء : gambaran sesuatu. Kata ini biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan gambar atau foto (sesuatu yang dilukis, digores atau berada pada bidang datar). Sementara untuk sesuatu yang memiliki wujud atau berbentuk tiga dimensi, seperti patung dan sebagainya, biasa digunakan kata timsal (تمثال). Walaupun sebenarnya kata timtsal maknanya sama dengan kata shurah.
Jadi, secara bahasa, shurah bisa digunakan dalam pengertian gambar yang berupa lukisan pada bidang datar, baik pada kertas, canvas, kain, papan, dinding, tembok dan sebagainya, maupun gambar dalam bentuk tiga dimensi seperti patung, boneka dan sebagainya. Gambar dalam pengertian pertama biasa juga disebut dengan istilah الصورة المسطحة. Sementara gambar dalam pengertian kedua biasa disebut dengan istilah الصورة المجسمة .
Para ulama yang mengharamkan shurah (gambar) secara mutlak, baik musattahah maupun mujassamah, baik objek yang digambar makhluk bernyawa maupun tidak, baik gambar itu dimuliakan atau direndahkan, berdalilkan kepada keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :
إن أشد الناس عذابا عند الله يوم القيامة المصورون (رواه البخاري رقم 5950 ومسلم 2109)
“Sesungguhnya manusia yang paling berat azabnya di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang menggambar.”
Hadits ini juga yang dijadikan dalil oleh mereka yang mengharamkan aplikasi avatar.
Keumuman hadits ini diperkuat oleh hadits shahih lainnya yang juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim :
عن أبي زرعة قال: دخلت مع أبي هريرة في دار مروان فرأى فيها تصاوير فقال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: قال الله عز وجل: ومن أظلم ممن ذهب يخلق خلقا كخلقي، فليخلقوا ذرة أو ليخلقوا حبة أو ليخلقوا شعيرة (رواه البخاري رقم 7559 ومسلم رقم 2111)
Dari Abu Zur’ah, ia berkata: “Saya pernah ke rumah Marwan bin Hakam bersama Abu Hurairah. Di rumahnya ternyata ada gambar-gambar. Abu Hurairah berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt berfirman: “Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang sengaja mencipta makhluk seperti ciptaan-Ku? Coba mereka ciptakan semut kecil, sebuah biji atau gandum.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini tidak membedakan antara makhluk bernyawa dengan yang tidak bernyawa. Kata dzarrah dalam hadits ini berarti semut kecil. Sementara kata habbah berarti biji, dan ini adalah jenis tumbuhan (yang tidak bernyawa). Demikian juga dengan sya’irah yang berarti gandum.
[Sebuah artikel yang menjadi rujukan mereka yang mengharamkan avatar menyimpulkan perintah dalam hadits ini: فليخلقوا “Coba mereka ciptakan dzarrah…” dalam pengertian boleh dan keizinan. Padahal makna perintah dalam hadits ini adalah أمر تعجيزي ; perintah yang tidak mungkin bisa dilakukan. Tapi inilah akibat kalau tidak merujuk kepada keterangan para ulama dalam memahami hadits].
Hadits ini juga tidak membedakan antara gambar berupa lukisan maupun tiga dimensi. Abu Hurairah ra menegur keras gambar yang ia lihat di rumah Marwan bin Hakam, dan gambar-gambar itu dipajang di dinding rumahnya.
Diantara ulama yang kepadanya dinisbahkan pendapat yang mengharamkan segala bentuk gambar adalah Mujahid bin Jabr murid dari Ibnu Abbas ra. Hanya saja ia membedakan antara pohon atau tanaman yang berbuah dengan yang tidak berbuah. Jika pohon itu yang jenisnya bisa berbuah maka tidak boleh digambar, tapi jika tidak maka boleh.
***
Namun demikian, berpegang kepada dua hadits ini saja, lalu langsung menyimpulkan bahwa segala bentuk gambar –termasuk juga avatar- adalah haram, jelas sebuah kesimpulan yang sangat tergesa-gesa, karena kita akan dihadapkan pada hadits-hadits shahih lainnya yang menjelaskan bahwa keharaman gambar itu tidak berlaku umum atau mutlak.
Perhatikan hadits berikut :
عن سعيد بن أبي الحسن، قال: كنت عند ابن عباس رضي الله عنهما، إذ أتاه رجل فقال: يا أبا عباس، إني إنسان إنما معيشتي من صنعة يدي، وإني أصنع هذه التصاوير، فقال ابن عباس: لا أحدثك إلا ما سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: سمعته يقول: «من صور صورة فإن الله معذبه حتى ينفخ فيها الروح وليس بنافخ فيها أبدا» فربا الرجل ربوة شديدة، واصفر وجهه، فقال: ويحك، إن أبيت إلا أن تصنع فعليك بهذا الشجر كل شيء ليس فيه روح (رواه البخاري رقم 2225)
Dari Sa’id bin Abul Hasan, ia berkata: “Saya pernah bersama Ibnu Abbas ra. Tiba-tiba datang seorang laki-laki. Ia berkata, “Wahai Abu Abbas, aku seorang laki-laki yang penghasilanku bersumber dari skill tanganku. Aku biasa membuat patung-patung.” Ibnu Abbas berkata: “Aku akan menyampaikan padamu hadits yang aku dengar dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda: “Siapa yang membuat patung maka Allah akan mengazabnya sampai ia meniupkan ruh pada patung itu, dan ia tidak akan bisa meniupkan ruh selamanya.”
Laki-laki itu menarik nafas panjang. Mukanya pun pucat. Melihat hal itu, Ibnu Abbas berkata, “Perhatikan! Kalau engkau mesti juga membuat patung-patung maka buatlah patung pohon, (yang penting) segala sesuatu yang tidak ada ruh.”
Hadits ini menegaskan bahwa keharaman menggambar itu hanya berlaku untuk gambar yang objeknya adalah makhluk bernyawa saja. Adapun menggambar makhluk yang tidak bernyawa, tidak apa-apa.
Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah dan ulama-ulama lain sebagaimana dinukil Imam Nawawi :
قال أصحابنا وغيرهم من العلماء تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم وهو من الكبائر لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور في الأحاديث وسواء صنعه بما يمتهن أو بغيره فصنعته حرام بكل حال لأن فيه مضاهاة لخلق الله تعالى وسواء ما كان فى ثوب أو بساط أودرهم أو دينار أو فلس أو إناء أو حائط أو غيرها وأما تصوير صورة الشجر ورحال الإبل وغير ذلك مما ليس فيه صورة حيوان فليس بحرام
“Sahabat-sahabat kami dan ulama dari mazhab yang lain mengatakan bahwa menggambar makhluk hidup itu sangat diharamkan, bahkan ia termasuk dosa besar karena ancamannya sangat berat sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits, baik gambar itu direndahkan ataupun tidak. Bagaimanapun juga, membuat gambar itu haram karena ia menyerupai ciptaan Allah, baik pada pakaian, tikar, dirham, dinar, falas, bejana, dinding, maupun yang lain. Adapun menggambar pohon, pelana onta dan lain-lain yang bukan makhluk hidup, maka tidak haram.”
Imam Nawawi hanya mengecualikan menggambar objek yang tidak bernyawa dari keharaman. Selain dari itu tetap haram, baik gambar itu berupa lukisan maupun berbentuk tiga dimensi.
Akan tetapi, hadits shahih berikut ini menegaskan bahwa lukisan atau tulisan pada bidang datar tidak termasuk yang diharamkan.
عن بسر بن سعيد، عن زيد بن خالد، عن أبي طلحة، صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «إن الملائكة لا تدخل بيتا فيه الصورة» قال بسر: ثم اشتكى زيد، فعدناه، فإذا على بابه ستر فيه صورة، فقلت لعبيد الله، ربيب ميمونة زوج النبي صلى الله عليه وسلم: ألم يخبرنا زيد عن الصور يوم الأول؟ فقال عبيد الله: ألم تسمعه حين قال: «إلا رقما في ثوب» (رواه البخاري رقم 5958 ومسلم رقم 2106)
Dari Busr bin Sa’id, dari Zaid bin Khalid, dari Abu Thalhah; sahabat Rasulullah, ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada gambar.”
Busr berkata, “Suatu ketika Zaid (bin Khalid) sakit. Kami pun menjenguknya. Ternyata di pintu rumahnya ada tirai yang bergambar. Aku berkata kepada Ubaidullah ; rabib (anak dari suami) Maimunah isteri Rasulullah, “Bukankah Zaid pernah menyampaikan hadits tentang (keharaman) gambar pada kita?” Ubaidullah berkata, “Tidakkah engkau dengar ia menyampaikan, “Kecuali tulisan di kain?”
Hadits ini menjadi dalil bahwa melukis sesuatu yang tidak memiliki bayangan tidaklah haram. Namun anehnya, Imam Nawawi menilai bahwa pendapat ini batil. Ia berkata:
قال بعض السلف إنما ينهى عما كان له ظل ولابأس بالصور التي ليس لها ظل وهذا مذهب باطل
“Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa yang dilarang itu hanya menggambar sesuatu yang tidak memiliki bayangan. Adapun gambar yang tidak memiliki bayangan maka tidak apa-apa. Tapi ini pendapat batil.”
Karena itulah Imam Ibnu Hajar mengkritik pernyataan Imam Nawawi ini dan berkata :
المذهب المذكور نقله بن أبي شيبة عن القاسم بن محمد بسند صحيح ولفظه عن بن عون قال دخلت على القاسم وهو بأعلى مكة في بيته فرأيت في بيته حجلة فيها تصاوير القندس والعنقاء ففي إطلاق كونه مذهبا باطلا نظر إذ يحتمل أنه تمسك في ذلك بعموم قوله إلا رقما في ثوب فإنه أعم من أن يكون معلقا أو مفروشا
Mazhab (pendapat) yang dimaksud (Imam Nawawi itu) telah dinukilkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari al-Qasim bin Muhammad dengan sanad yang shahih. Redaksinya sebagai berikut: Dari Ibnu ‘Aun, ia berkata: “Aku datang ke rumah al-Qasim bin Muhammad yang terletak di perbukitan kota Mekah. Aku melihat di rumahnya ada tirai yang bergambar landak dan burung feniks. Maka, mengatakan pendapat ini adalah batil tentu perlu dikaji ulang, karena boleh jadi al-Qasim bin Muhammad berpegang dengan keumuman hadits, “Kecuali tulisan di kain…”, dan kalimat ini bersifat umum, berlaku untuk sesuatu yang digantungkan dan dibentangkan.”
Hadits lain yang semakin memperkuat bahwa gambar atau lukisan pada bidang datar tidaklah diharamkan adalah yang diriwayatkan oleh Imam Azraqi dalam Tarikh Makkah yang juga dinukil oleh Imam Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala` :
عن أبي نجيح عن أبيه عن حويطب بن عبد العزى وغيره: فلما كان يوم الفتح دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى البيت فأمر بثوب فبل بماء وأمر بطمس تلك الصور، ووضع كفيه على صورة عيسى وأمه وقال: "امحوا الجميع إلا ما تحت يدي". (سير أعلام النبلاء 1/68)
Dari Abu Najih, dari ayahnya, dari Huwaithib bin Abdul ‘Uzza dan yang lain, “Ketika penaklukan Mekah (Fathu Makkah), Rasulullah Saw masuk ke baitullah. Kemudian beliau memerintahkan untuk diambilkan kain, lalu dibasahkan dengan air. Kemudian ia perintahkan untuk menghapus seluruh gambar yang ada. Beliau meletakkan kedua tapak tangannya pada gambar Isa dan ibunya, lalu bersabda: “Hapus semuanya, kecuali yang di bawah tanganku ini.”
Kalau gambar atau lukisan diharamkan tentu Nabi tidak akan membiarkan satu gambarpun yang tersisa. Semua pasti akan dihapus atau dibuang.
***
Disamping itu para ulama juga berbeda pendapat tentang gambar yang dimuliakan dan yang direndahkan. Maksud ‘dimuliakan’ adalah ia diletakkan di tempat-tempat yang memberi kesan bahwa si pemilik memuliakannya, seperti dijadikan sebagai sorban, hiasan rumah, penutup dinding dan sebagainya. Sementara maksud ‘direndahkan’ adalah lukisan itu tidak dihormati, misalnya dijadikan sebagai sarung bantal, alas kaki dan sebagainya.
Perhatikan hadits berikut ini :
قال فأتيت عائشة فقلت: إن هذا يخبرني أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب ولا تماثيل» فهل سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر ذلك؟ فقالت: لا، ولكن سأحدثكم ما رأيته فعل، رأيته خرج في غزاته، فأخذت نمطا فسترته على الباب، فلما قدم فرأى النمط، عرفت الكراهية في وجهه، فجذبه حتى هتكه أو قطعه، وقال: «إن الله لم يأمرنا أن نكسو الحجارة والطين» قالت فقطعنا منه وسادتين وحشوتهما ليفا، فلم يعب ذلك علي (رواه مسلم رقم 2107)
Ia (berkemungkinan yang berkata disini adalah Zaid bin Khalid al-Juhani atau Abu Thalhah al-Anshari) berkata, “Aku datang menemui Aisyah ra. Aku berkata, “Orang ini menyampaikan bahwa Nabi Saw bersabda, “Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar (patung).” Apakah engkau pernah mendengar hadits ini dari Rasulullah?”
Aisyah ra berkata, “Tidak. Tapi aku akan sampaikan kepadamu apa yang aku lihat sendiri Nabi Saw melakukannya. Suatu kali beliau pergi ke sebuah peperangan. Sepeninggal beliau, aku mengambil sehelai kain sebagai tirai, lalu aku tutupkan pada pintu. Ketika Nabi pulang, ia melihat tirai itu. Aku bisa membaca rasa tidak suka di wajahnya. Ia kemudian menarik dan memotong tirai itu. Lalu ia berkata, “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk memberikan tutupan (memakaikan baju) pada batu dan tanah.”
Aisyah ra melanjutkan, “Kemudian kain tirai itu kami potong (belah) menjadi dua bagian untuk dijadikan sarung bantal, lalu kami isi kapuk. Beliau (Nabi Saw) tidak menyalahkan hal itu.”
Dalam riwayat lain disebutkan, sebagaimana yang juga diriwayatkan oleh Imam Thahawi dalam Syarah Ma’ani al-Atsar, bahwa setelah Aisyah ra menjadikannya sarung bantal dan alas duduk, Nabi Saw pun menggunakannya.
Berarti yang dilarang itu adalah kalau gambar itu ditegakkan yang memberi kesan bahwa ia dimuliakan. Adapun kalau gambar itu dibentangkan, diduduki, ditiduri, dipijak dan sebagainya, sehingga tidak ada kesan bahwa ia dimuliakan maka tidak apa-apa.
Imam Nawawi mengatakan :
فإن كان معلقا على حائط أو ثوبا ملبوسا أو عمامة ونحوذلك مما لايعد ممتهنا فهو حرام وإن كان في بساط يداس ومخدة ووسادة ونحوها مما يمتهن فليس بحرام
“Kalau gambar itu digantungkan di dinding, dijadikan pakaian, jadi sorban dan sebagainya yang dianggap sesuatu yang dimuliakan maka ia haram. Adapun jika ia dijadikan tikar yang diinjak, bantal, tempat duduk dan sebagainya (sesuatu yang tidak dimuliakan) maka tidaklah haram.”
Jadi, mengatakan bahwa menggambar itu hukumnya haram hanya berpatokan kepada satu atau dua hadits saja, meskipun haditsnya shahih, lalu mengabaikan hadits-hadits lain yang juga shahih yang menjelaskan beberapa pengecualian, adalah sebuah kecerobohan.
Dari berbagai pendapat yang sangat beragam itu, Imam Ibnu al-‘Arabiy mencoba menyimpulkannya. Ia berkata :
حاصل ما في اتخاذ الصور أنها إن كانت ذات أجسام حرم بالإجماع وإن كانت رقما فأربعة أقوال الأول يجوز مطلقا على ظاهر قوله في حديث الباب إلا رقما في ثوب الثاني المنع مطلقا حتى الرقم الثالث إن كانت الصورة باقية الهيئة قائمة الشكل حرم وإن قطعت الرأس أو تفرقت الأجزاء جاز قال وهذا هو الأصح الرابع إن كان مما يمتهن جاز وإن كان معلقا لم يجز
“Kesimpulan pendapat dalam masalah gambar adalah : kalau gambarnya memiliki bentuk (tiga dimensi) maka ini sepakat diharamkan. Tapi jika hanya berbentuk tulisan maka ada empat pendapat. Pertama, boleh secara mutlak, berdasarkan zhahir hadits: “Kecuali tulisan di kain…”. Kedua, tidak boleh secara mutlak, termasuk lukisan (pada bidang datar). Ketiga, kalau gambar itu bentuknya tetap (tidak hilang) dan sempurna, maka haram, tapi kalau dipotong bagian kepalanya atau bagian-bagian dipisah-pisah, maka boleh. Pendapat ketiga inilah yang lebih benar. Sementara pendapat keempat, kalau gambar itu direndahkan maka boleh, tapi kalau ditegakkan (dimuliakan) maka tidak boleh.”
Kalau ulama sekelas Imam Ibnu al-‘Arabi saja menyebutkan demikian beragam pendapat para ulama dalam masalah ini, berarti orang yang langsung mengatakan hukumnya haram atau terpaku pada satu pendapat saja, tandanya ia terlalu ceroboh dalam dalam masalah hukum.
***
Walaupun disebutkan di atas bahwa menggambar makhluk bernyawa dalam bentuk tiga dimensi (memiliki bayangan) adalah haram, ternyata tetap saja ada pengecualiannya, yaitu kalau gambar tiga dimensi itu (seperti patung dan sebagainya) dipotong bagian kepalanya.
Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thahawi berikut ini :
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أتاني جبريل فقال: يا محمد، إني جئتك البارحة، فلم أستطع أن أدخل البيت لأنه كان في البيت تمثال رجل ، فمر بالتمثال فليقطع رأسه حتى يكون كهيئة الشجرة
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Jibril datang menemuiku. Ia berkata, “Wahai Muhammad, sebenarnya aku datang malam tadi. Tapi aku tidak bisa masuk karena di dalam rumah ada patung manusia. Maka suruhlah patung itu dipotong bagian kepalanya sehingga bentuknya menjadi seperti pohon.”
Abu Hurairah ra yang meriwayatkan hadits di atas juga pernah berkata :
الصورة الرأس فكل شيء ليس له رأس فليس بصورة
“(Inti) gambar/patung itu adalah kepala. Setiap sesuatu yang tidak ada kepalanya maka tidaklah dikatakan gambar (yang diharamkan).”
Kenapa ketika bagian kepalanya dipotong hukumnya menjadi boleh? Imam Thahawi berkata :
فلما أبيحت التماثيل بعد قطع رءوسها الذي لو قطع من ذي الروح لم يبق , دل ذلك على إباحة تصوير ما لا روح له
“Ketika patung yang telah dipotong bagian kepalanya dibolehkan, dimana kalau bagian itu dipotong dari makhluk yang bernyawa niscaya ia tidak akan hidup, ini menunjukkan bahwa menggambar sesuatu yang tidak memiliki ruh adalah dibolehkan.”
Di sini muncul pertanyaan, apakah hanya bagian kepala saja yang diputus agar gambar atau patung itu dibolehkan? Kalau tujuan memutus bagian kepala ini adalah agar ia tidak bisa hidup meskipun diberikan ruh (berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa keharaman menggambar hanya berlaku untuk makhluk hidup saja), maka kebolehan ini tidak terbatas pada memotong bagian kepala saja. Bukankah kalau yang dipotong atau yang dibuang adaah bagian leher, dada, pusar dan sebagainya, ia tetap tidak akan bisa hidup meskipun diberikan ruh? Berarti kebolehan ini tidak terbatas hanya pada memotong bagian kepala saja, melainkan juga mencakup setiap bagian tubuh yang kalau diputus maka badan tersebut tidak akan bisa hidup seandainya ditiupkan ruh.
***
Demikian paparan umum berbagai pendapat ulama tentang hukum shurah dan tashwir dalam segala bentuk dan jenisnya, berdasarkan kepada berbagai hadits yang sangat beragam.
Dari berbagai pendapat tersebut kita melihat bahwa pendapat yang lebih dominan adalah kalau gambar itu memiliki bayangan (tiga dimensi) dan objeknya adalah makhluk hidup yang sempurna badannya, dimana kalau ditiupkan ruh padanya ia akan hidup, maka hukumnya adalah haram. Adapun kalau bagian kepalanya dipotong, atau bagian-bagian lainnya dimana kalaupun ditiupkan ruh kepadanya ia tetap tidak bisa hidup, maka hukumnya boleh. Demikian juga dengan gambar atau lukisan pada bidang datar seperti lukisan di atas kertas, kain, dinding dan sebagainya maka sebagian ulama mengatakan boleh.
***
Ada satu pertanyaan penting yang mesti dilontarkan dalam hal ini. Apakah keharaman membuat gambar atau patung tersebut bersifat ta’abbudi (تعبدي) atau mu’allal (معلل)? [Ta’abbudi artinya sesuatu yang tidak diketahui apa motif dan latarbelakangnya. Sementara mu’allal artinya hukum itu memiliki sebab dan faktor yang melatarbelakanginya].
Melihat kepada berbagai hadits dan keterangan para ulama tentang masalah ini, ditambah dengan fakta bahwa masalah shurah dan tashwir tidak masuk dalam kategori ibadah mahdhah yang memang sebagian besarnya bersifat ta’abbudi, maka kita lebih cenderung kepada pendapat para ulama yang mengatakan bahwa keharaman ini bersifat mu’allal. Artinya ia memiliki ‘illah dan sebab.
Kenapa dikatakan mu’allal? Karena keharaman ini bukan bersifat lidzatihi (karena zatnya). Kalau keharamannya bersifat lidzatihi, tentu tidak akan ada toleransi sama sekali dari Rasulullah Saw dalam hal ini. Sementara kita lihat dari berbagai hadits di atas, Rasulullah Saw memberikan beberapa toleransi ; hukumnya boleh kalau gambar itu tidak untuk dimuliakan, hukumnya boleh kalau bagian kepalanya dipotong, boleh kalau ia dijadikan sebagai mainan dan seterusnya. Semua ini membuktikan kalau keharamannya bukan karena dzatnya.
Apa contoh sesuatu yang keharamannya karena zatnya? Khamar, babi, najis dan sebagainya. Apakah ada toleransi dalam masalah khamar atau babi (selain tentunya dalam kondisi yang sangat darurat) baik dikonsumsi maupun dimanfaatkan untuk sesuatu yang lain? Tidak ada.
Kalau demikian, apa saja ‘illah keharaman menggambar atau membuat patung?
Pertama, sengaja menyerupai ciptaan Allah Swt. ‘Illah ini bersifat manshush (disebutkan secara tegas di dalam hadits). Jadi bukan sesuatu yang bersifat mustanbath (dipahami dari hadits). Perhatikan hadits berikut :
أشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يضاهون بخلق الله (رواه البخاري رقم 5954 ومسلم رقم 2107).
“Manusia yang paling berat azabnya di hari kiamat adalah orang-orang yang sengaja menyerupai (menandingi) ciptaan Allah.”
Seolah-olah seorang pelukis atau pemahat merasa bahwa ia bisa membuat apa yang dibuat oleh Allah Swt. Bedanya hanya ia tidak bisa memberikan ruh. Ini jelas sebuah kepongahan dan kesombongan yang pantas diganjar dengan azab yang sangat berat di akhirat nanti.
Konon, Michael Angelo seorang pelukis, pemahat dan pujangga terkenal yang hidup pada abad 15 M, setelah membuat sebuah patung yang sangat indah dan nyaris sempurna, ia memandangi hasil karyanya sendiri dengan penuh kagum dan bangga. Lalu ia berkata kepada patung itu, “Hiduplah…”.
Kedua, menyerupai kaum Nashrani dan Yahudi.
عن عائشة أم المؤمنين، أن أم حبيبة وأم سلمة ذكرتا كنيسة رأينها بالحبشة فيها تصاوير، فذكرتا للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: «إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات، بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك الصور، فأولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة» (رواه البخاري رقم 427 ومسلم رقم 528)
Dari Aisyah ra, Ummu Habibah dan Ummu Salamah bercerita tentang sebuah gereja yang mereka lihat saat hijrah ke Habsyah. Di dalam gereja itu ada gambar-gambar. Keduanya menceritakan hal itu kepada Nabi Saw. Nabi Saw bersabda: “Mereka itu, ketika ada orang baik diantara mereka yang wafat, mereka bangun masjid di atas kuburnya lalu mereka buat gambar (lukisan atau patung) untuk orang-orang itu. Mereka itulah makhluk paling buruk di sisi Allah pada hari kiamat nanti.”
Jelas bahwa kebiasaan seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nashrani ini menjadi pintu masuk terjadinya kemusyrikan dan kekafiran.
Ketiga, sadd dzari’ah (menutup pintu) menuju kemusyrikan dan kemusyrikan. Imam al-Qurthubi, sebagaimana dinukil Imam al-‘Aini, mengatakan:
إنما صور أوائلهم الصور ليأتنسوا بِرؤية تلك الصور ويتذكروا أفعالهم الصالحة فيجتهدون كاجتهادهم ويعبدون عند قبورهم، ثم خلف من بعدهم خلوف جهلوا مرادهم، ووسوس لهم الشيطان أن أسلافكم كانوا يعبدون هذه الصور ويعظمونها فعبدوها، فحذر النبي عن مثل ذلك سدا للذريعة المؤدية إلى ذلك
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani generasi awal sengaja membuat gambar tokoh-tokoh mereka dengan tujuan agar mereka selalu mengingat tokoh-tokoh itu dan mengenang jasa-jasa mereka. Dengan begitu mereka akan senantiasa termotivasi untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah seperti halnya tokoh-tokoh itu ketika mereka hidup. Namun generasi setelah itu tidak memahami hal ini. Setan membisikkan pada mereka bahwa nenek moyang mereka dulu menyembah gambar-gambar tersebut dan mengagungkannya. Akhirnya mereka (generasi pelanjut) pun menyembah gambar-gambar itu. Oleh karena itulah Nabi Saw melarang hal tersebut (menggambar) untuk menutup celah terjadinya kemusyrikan.”
***
Karena berbagai ‘illah inilah kita melihat bahwa keharaman menggambar ini tidak bersifat mutlak. Dalam berbagai hadits di atas bisa dilihat bahwa Rasulullah Saw membolehkan gambar yang direndahkan dan tidak dimuliakan. Bukan hanya gambar dalam arti lukisan, tapi juga gambar dalam arti fisik tiga dimensi seperti mainan dan sebagainya.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah Saw melihat Aisyah ra memiliki mainan berupa kuda yang memiliki dua sayap. Rasulullah Saw tidak mengingkarinya, bahkan beliau tersenyum dan tertawa.
Salah satu hadits yang berisi ancaman keras terhadap para pelukis dan pemahat yang juga telah disebutkan di atas, “Manusia yang paling berat azabnya di hari kiamat adalah orang-orang yang sengaja menyerupai (menandingi) ciptaan Allah”. Hadits ini sesungguhnya diucapkan Rasulullah Saw kepada Sayyidah Aisyah ketika beliau melihat tirai kain bergambar yang digunakan Aisyah untuk menutupi salah satu bagian di kamarnya.
Tapi apakah setelah mendengar hadits ini, Sayyidah Aisyah mencampakkan tirai tersebut begitu saja? Tidak. Ia memotong tirai itu menjadi dua bagian. Lalu dijadikannya sebagai pembungkus bantal. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa bantal itu juga digunakan oleh Rasulullah Saw.
Kalau keharaman gambar itu bersifat lidzatihi seperti keharaman khamar, babi, najis dan sebagainya, tentu tidak ada toleransi dalam hal ini.
Beberapa ulama kontemporer seperti Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha dan lain-lain bahkan mengatakan bahwa hukum menggambar bisa saja haram, makruh, mubah, sunnah atau bahkan wajib, tergantung kepada niat dan motif membuat dan menggunakannya.
***
Sebagai kesimpulan :
Pertama, yang disepakati keharamannya oleh para ulama adalah menggambar makhluk bernyawa yang memiliki bentuk (tiga dimensi seperti patung dan sejenisnya), dibuat secara utuh (dimana kalau ditiupkan ruh ia akan hidup), dan dimuliakan (sehingga kalau ia dijadikan sebagai mainan maka tidak apa-apa).
Kedua, keharaman menggambar itu bersifat mu’allal (memiliki ‘illah dan sebab) yaitu menandingi ciptaan Allah, menyerupai Yahudi dan Nashrani dan menutup celah kemusyrikan. Karena itu maka ketika ‘illah itu tidak ada maka hukumnya pun terangkat, sesuai dengan kaidah Ushul :
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Ketiga, hukum menggambar bisa saja haram, makruh, mubah, sunnah atau wajib, sesuai dengan niat dan motif membuatnya serta dampak (ma`alat) yang ditimbulkannya.
والله تعالى أعلم وأحكم
[Rujukan : Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Fathul Bari jilid 10 hal 380 – 395 ; Umdatul Qari JIlid 4 hal 174 ; Syarah Nawawi terhadap Shahih Muslim Jilid 14 hal 81 dst ; Syarah Ma’ani al-Atsar Jilid 4 hal 282 dst, ash-Shihah Jilid 2 hal 717 ; Siyar A’lam Nubala` Jilid 1 hal 68 ; beberapa muhadharah ulama di YouTube dan situs-situs berbahasa Arab].
Sumber FB : Yendri Junaidi
8 September 2020·