Al-Quran dan Tafsir
Memahami isi Al-Quran dan beristimbath hukum dari Al-Quran bukan pekerjaan mudah, tidak semudah berstatemen : 'Kembali kepada Al-Quran'.
Kita perlu belajar dari para profesional untuk bisa menggali hukum Al-Quran. Tanpa bimbingan ahli, tentu sulit mengetahui bagaimana anatomi hukum yang terkandung di dalam suatu ayat.
Mirip peringatan adegan berbahaya : 'Jangan lakukan adegan ini di rumah, adegan ini hanya dilakukan oleh kalangan profesional dengan latihan dan skil tinggi'.
Lho, jadi kita tidak boleh berpegang kepada Al-Quran? Buat apa dong kita baca Al-Quran kalau kita tidak boleh menarik kesimpulan sendiri?
Nah ini perlu dijelaskan duduk perkaranya dengan baik. Begini ya, dalam hal membaca Al-Quran saja dulu misalnya, bolehkah dilakukan oleh mereka yang tidak pernah belajar tajwid?
Bolehkah baca Al-Quran dengan bacaan yang rusak, panjang pendeknya berantakan, makhrojnya bubar dan akhirnya jadi mengubah arti?
Tidak boleh, bukan?
Kalau masih hancur tajwidnya, bukannua dilarang baca Al-Quran, tapi akan kita suruh belajar tajwid dulu yang serius. Biar kalau baca Quran tidak jadi dosa. Iya, kan?
Ketika kita melarang orang membaca Al-Quran bukan sekedar asal melarang, tapi larangannya karena ada syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Nah, begitu juga dengan menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran. Kita larang orang melakukannya bukan apa-apa, karena belum terpenuhi syaratnya.
Tapi kan kita harus menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum?
Oleh karena itulah maka kita perlu bimbingan tangan-tangan profesional. Mereka adalah para ulama ahli Al-Quran, para mufassir, para fuqaha dan para mujtahid.
Sebegitu hati-hatinya kita dalam memahami Al-Quran karena mengingat fakta-fakta berikut ini :
1. Perintah dan Hukum
Ternyata tidak semua perintah dalam Al-Quran itu hukumnya wajib dikerjakan.
Kadang jadi sunnah, kadang jadi mubah, malah bisa jadi makruh bahkan jadi haram.
Untuk masalah ini, ada banyak contoh yang sudah saya tuliskan di buku saya.
2. Perintah Tidak Dalam Bentuk Perintah
Lebih parah lagi, seringkali Al-Quran sering memberi perintah namun secara struktur dan gramatika malah tidak pakai atribut perintah.
Perintahnya datang tapi tidak pakai fi'il amr, tapi malah pakai fi'il mudhari'. Tentu ini agak membingungkan, bukan?
Lebih parah lagi bahkan ada perintah malah pakai mubtada' khobar, yang tidak ada perintahnya. Itu hanya kalimat berita, tapi esensinya malah jadi perintah.
Ini repot banget. Beberapa rincian dan contohnya sudah saya tuliskan di buku saya.
3. Tiap Kata Bisa Beda Makna
Itu yang bikin tambah runyam, bayangkan makna kata 'shalat' tidak hanya sebatas 'ibadah yang diawali takbir diakhiri salam' saja, tapi shalat dalam Al-Quran punya banyak sekali makna.
Kadang bermakna doa, rahmat, permohonan ampun, rumah ibadah orang kafir, kadang jadi baca sholawat kepada Nabi SAW.
Sebaliknya, kadang Al-Quran malah menggunakan banyak kata yang berbeda untuk satu makna. Misalnya zakat, seringkali perintahnya bukan zakat tapi malah sedekah.
Contohnya terkait ayat 8 asnaf itu, ternyata 8 asnaf itu bukan untuk zakat tapi sedekah. Setidaknya Allah justru tidak menggunakan lafazh zakat di ayat itu tapi malah lafazh sedekah.
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat . . . (QS. At-Taubah : 60)
Padahal kita tahu zakat itu bukan sedekah dan sedekah juga bukan zakat.
Contoh lainnya juga sudah saya tuliskan di buku saya.
So, kalau mau tahu lebih banyak, silahkan baca habis apa yang sudah saya tuliskan. Detailnya ada disini http://www.rumahfiqih.com/buku/x.php?id=51&memahami-al-quran-dan-tantangannya.htm (mirror : Memahami Al Quran dan Tantangannya)
Pesan langsung juga bisa, kontaknya via WA saja ke : Isnawati 0821-1159-9103.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
7 September 2020 pukul 05.53 ·