(Kajian #AWAramadhan18 ke 10: Sifat Wahdaniyah)
Oleh: Abdul Wahab Ahmad
Dalam sejarah manusia, kita dapati banyak sekali sosok yang dianggap Tuhan atau diperlakukan seperti Tuhan. Di bagian akhir film "The 13th Warrior" yang dibintangi Antonio Banderas berperan sebagai Ahmad ibn Fadlan, ada dialog menarik yang isinya "Di tanahmu, satu Tuhan mungkin cukup tetapi kami memerlukan banyak Tuhan". Ya, demikianlah pikiran banyak orang di dunia ini yang menyembah banyak sosok Tuhan sekaligus.
Sebagian penyembah multi Tuhan itu, ada yang menyamaratakan seluruh sosok Tuhan sebagai Tuhan-tuhan yang setara. Sebagian lainnya mengklasifikasikan Tuhan-tuhan itu menjadi dua kategori; Supreme God (Tuhan utama) dan Lesser God (Tuhan yang lebih rendah levelnya). Masyarakat Arab Jahiliyah masuk kategori yang kedua, yakni yang meyakini adanya dua kategori Tuhan itu. Bagi mereka, Allah adalah Supreme God yang menciptakan langit, bumi dan seluruh isinya tetapi di samping itu ada Tuhan-Tuhan kecil yang juga berperan sebagai sekutu Allah, yakni berhala-berhala yang mereka sembah itu.
Kalau kita mau berpikir kritis, betulkah Tuhan yang sejati ada banyak? Sudah kita bahas sebelumnya bahwa dalam nalar yang sehat, sosok Tuhan pastilah ada tanpa awal mula, kekal selamanya, berbeda secara mutlak dari semuanya, dan sama sekali mustahil butuh atau bergantung pada apapun atau siapapun. Sosok yang demikian ini secara rasional pasti hanya satu saja. Kalau ada lebih dari satu maka pasti layak dipertanyakan yang mana yang ada duluan? yang mana yang berpengaruh dan yang mana yang dipengaruhi? Hasil akhirnya pasti tetap hanya satu saja. Kalau keduanya setara dan saling mempengaruhi, maka bisa dipastikan bahwa keduanya bukan Tuhan sebab tidak mandiri.
Membahas tentang jumlah Tuhan ini bukan tentang butuh tidak butuhnya manusia pada berapa sesembahan, tetapi membahas tentang hakikat Dzat Tuhan yang tak mungkin tidak tunggal. Dalam al-Qur'an, ada ayat yang dengan sangat cermat memaparkan konklusi dari rantai silogisme yang panjang soal keesaan Tuhan ini, yakni:
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا [الأنبياء: 22]
"Apabila di langit dan bumi ada Tuhan-Tuhan selain Allah, maka keduanya akan rusak".
Ayat tersebut merupakan inti dari rangkaian berpikir secara runtut berikut ini:
"Apabila ada lebih dari satu Tuhan yang saling berkompromi akan kekuasaanya, maka pasti keduanya bukan Tuhan sebab kekuasaannya terbatas. Karena itu, maka pastilah Tuhan itu berkuasa mutlak tanpa batasan. Apabila ada lebih dari satu Tuhan yang berkuasa mutlak, maka pasti akan ada perebutan kekuasaan. Kalau terjadi perebutan kekuasaan, maka pasti langit dan bumi akan rusak. Karena langit dan bumi tidak rusak, maka pasti hanya ada satu Tuhan".
Demikianlah para ulama mutakallimin Ahlussunnah menjelaskan ayat-ayat Tuhan, yakni dengan berpikir secara runtut dan sistematis melalui penalaran deduktif (silogisme). Ayat di atas adalah salah satu inspirasi untuk melakukan hal itu. Salah besar kalau ada yang mengira bahwa silogisme seperti itu hanya didapat dari buku-buku Aristoteles yang masuk dalam dunia Islam klasik (menjadi bagian ilmu manthiq) sebab tanpa Aritoteles sekalipun al-Qur'an sudah memberikan stimulus untuk itu sebagaimana al-Qur'an memberikan stimulus bagi pembelajaran sains dan berbagai ilmu lain.
Sebab secara rasional Tuhan pasti satu saja, maka para intelektual dari seluruh agama besar yang dikenal memiliki lebih dari satu figur Tuhan akhirnya juga menjelaskan secara panjang lebar bahwa dalam agamanya Tuhan itu juga Esa. Hindu, Budha, Kristen dan lainnya pada titik akhirnya semuanya sepakat bahwa Tuhan sejati itu satu saja, terlepas dari detail-detail "jumlah sosok Tuhan" dalam agama mereka. Dari sini kita tahu bahwa keyakinan bahwa Tuhan itu Esa adalah fitrah kemanusiaan sebab siapapun orangnya asal mau berpikir secara kritis dan objektif pasti akan sampai pada kesimpulan ini. Seluruh manusia yang meyakini ada lebih dari satu Tuhan di dunia ini tak lebih dari orang-orang yang hanya ikut-ikutan tradisi nenek moyang mereka yang tidak kritis.
Selain merupakan keniscayaan rasional, ke-Esa-an Tuhan juga berulang kali disinggung dalam Al-Qur'an, di antaranya adalah:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ [الإخلاص: 1]
"Katakanlah bahwa Allah itu Esa".
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ [البقرة: 163]
"Tuhan kalian adalah tuhan yang Esa, tak ada Tuhan selain Dia yang Maha Pengasih lagi Penyayang".
Dan ada banyak lagi ayat serupa yang tersebar di seluruh al-Qur'an. Semuanya menekankan satu fakta bahwa Tuhan sejati (Allah) itu hanya satu saja dan satu-satunya di langit atau di bumi. Maha Suci Allah dari keberadaan saingan bagi-Nya.
Setelah kita tahu bahwa Tuhan pastilah esa atau satu, maka sekarang kita beranjak pada bahasan berikutnya. Apa yang dimaksud dengan keesaan ini? Dalam hal apa Tuhan itu pasti esa dan tak mungkin ada saingannya?
Agama-agama maupun aliran keagamaan di dunia punya jawaban berbeda atas pertanyaan tersebut:
1. Ada yang meyakini bahwa keesaan Tuhan hanyalah pada jumlah bilangannya yang satu saja tetapi Dia dibentuk dari tiga unsur yang berbeda (trinitas). Mereka ini tidak masuk akal dan tak pernah bisa membuktikan hal ini secara rasional sebab kalau demikian maka masing-masing unsur ketuhanan itu bukanlah tuhan secara mandiri (bukan tuhan 100%). Karena masing-masingnya bukan tuhan secara mandiri maka bergabung pun tetap mustahil jadi Tuhan sama seperti ketika seluruh makhluk hidup bergabung menjadi satu maka tetap saja bukan Tuhan. Bila masing-masing unsur itu dianggap Tuhan secara mandiri, maka berarti tuhannya tidak Esa lagi.
2. Ada juga yang meyakini bahwa keesaan Tuhan itu hanya dalam jumlah Dzat tetapi tidak dalam perbuatan atau sifatnya. Maksudnya Tuhan itu diyakini ada satu tetapi perbuatan atau sifat ketuhanan juga bisa dilakukan oleh sosok lain. Mereka ini juga tidak masuk akal sebab kalau demikian berarti klaim keesaan Tuhan itu omong kosong belaka dan tak ada gunanya.
Lalu bagaimana keesaan Tuhan itu? Bagi Tuhan yang sejati, keesaan itu pastilah mencakup tiga segi, yakni: Dzat, Sifat dan Perbuatan. Tuhan itu pastilah Dzatnya Esa, sifatnya Esa dan Perbuatannya juga Esa. Dalam ketiga segi ini, Tuhan tak boleh ada saingannya. Bila masih ada saingannya berarti pastilah bukan Tuhan.
Keesaan itu sendiri mencakup dua jenis, yaitu:
1. Keesaan internal. Maksudnya adalah keesaan dalam arti tidak ada bilangan secara internal. Bilangan internal ini adalah bilangan pecahan, prosentase dan bagian-bagian, seperti: sepertiga tuhan, separuh tuhan, 10% tuhan, 50% tuhan, sebagian kecil tuhan, sebagian besar tuhan, unsur-unsur tuhan dan sebagainya. Bilangan internal ini dalam ilmu kalam disebut sebagai "Kamm muttashil" atau bilangan sambung sebab seluruh bilangan yang ada pada hakikatnya berada dalam internal satu wujud saja. Dalam bahasa yang lebih sederhana, keesaan internal ini adalah ketiadaan pecahan atau bagian-bagian penyusun.
2. Keesaan eksternal. Maksudnya adalah keesaan dalam arti tidak ada bilangan secara eksternal. Bilangan eksternal ini adalah bilangan deret hitung sepeti 2, 3, 4, dan seterusnya. Masing-masing angka dalam deret tersebut merupakan hitungan yang mandiri dan terpisah satu sama lain, sebab itulah dalam ilmu kalam biasa disebut sebagai "Kamm munfashil" atau bilangan terpisah. Dalam bahasa yang lebih sederhana, keesaan eksternal ini adalah ketiadaan saingan yang sama dengan dirinya.
Bila disimpulkan secara detail maka akan ada enam segi keesaan Tuhan, yakni:
1. Keesaan internal Tuhan dalam hal Dzat. Maksudnya, Tuhan itu pasti tidak terdiri dari kumpulan unsur-unsur pembentuk. Dzat Tuhan bukanlah sebuah susunan (tarkib) dari bagian-bagian yang lebih lebih kecil (juz') sebab seluruh susunan pastilah muhdats sehingga butuh oknum muhdits yang menjadi penyusunnya. Sebab Dzat Tuhan bukanlah sebuah susunan, maka seluruh sifat-Nya tidak boleh dipahami sebagai susunan apapun, entah susunan organ atau susunan apapun.
Dalam poin inilah Ahlusunnah Wal Jama'ah berbeda dengan Mujassimah - Musyabbihah yang menetapkan adanya susunan bagi dzat Tuhan (ada unsur yang disebut tangan, unsur yang disebut kaki, unsur yang disebut wajah dan seterusnya). Meskipun mereka mengatakan bahwa semua unsur itu berbeda dengan makhluk dan hakikatnya tidaklah sama, tidak diketahui dan dalam perspektif mereka dianggap layak bagi Tuhan, tetapi ahli bid'ah itu sepakat bahwa Dzat Allah adalah susunan dari semua itu. Sebab itulah, tak heran bila mereka mengartikan sifat as-Shamad sebagai Tuhan yang tak mempunyai rongga tubuh. Tak heran juga ketika mereka mengatakan bahwa nanti Allah akan menampakkan sebagian diri-Nya pada manusia dan bahkan membuat sebagian diri-Nya (kaki-Nya)disentuh oleh Nabi Muhammad (berdasarkan pada riwayat dalam kitab yang bermasalah). Maha Suci Allah dari keyakinan mereka yang menisbatkan sifat huduts pada Allah.
Adapun Ahlussunnah meyakini bahwa apa yang disebut al-Qur'an dan hadis sebagai wajh, 'ain, yad, dan seterusnya itu adalah sebuah sifat bagi Allah yang layak bagi keagungan-Nya yang manusia tak tahu hakikatnya (meskipun tahu maknanya secara global dalam konteks wurudnya). Bukan sebagai unsur yang bisa dibentuk dan disusun hingga menjadi Dzat Allah seutuhnya.
2. Keesaan eksternal Tuhan dalam hal Dzat. Maksudnya, Tuhan itu pasti tidak punya saingan sama sekali. Kalau masih punya saingan berarti bukan Tuhan. Poin inilah yang gagal dipahami oleh orang Musyrik dan orang Ateis sebagaimana insya Allah nanti akan kita bahas pada kajian selanjutnya.
3. Keesaan internal Tuhan dalam hal Sifat. Maksudnya, sifat Tuhan itu pasti tidak terdiri dari kumpulan unsur-unsur yang lebih kecil. Tak ada ceritanya Allah setengah melihat, setengah mampu, setengah mengetahui dan seterusnya. Sifat Tuhan sangat berbeda dengan makhluk yang sifatnya adalah hasil dari kumpulan pecahan yang lebih kecil; dari sedikit tahu menjadi agak tahu menjadi banyak tahu, dari sedikit mampu menjadi agak mampu menjadi sangat mampu, dan seterusnya. Karena itulah, sifat-sifat Tuhan pastilah sudah sempurna sejak tanpa awalan hingga nanti tanpa akhiran, tanpa melalui sebuah evolusi untuk menjadi sempurna.
4. Keesaan eksternal Tuhan dalam hal sifat. Maksudnya, sifat Tuhan itu pasti tak ada yang mampu menyaingi. Ilmu Tuhan, Kekuasaan Tuhan, Kalam Tuhan, dan seluruhnya tak mungkin bisa disaingi oleh siapapun jua.
5. Keesaan internal Tuhan dalam hal tindakan. Maksudnya, seluruh tindakan Tuhan tidak mungkin terdiri dari unsur-unsur pembentuk. Tuhan berbeda dengan makhluk yang tindakannya berupa langkah-langkah kecil yang digabung menjadi langkah besar. Dalam melakukan apapun Tuhan tak perlu proses. Bila Tuhan berkehendak, maka pastilah terjadi apa yang dikehendakinya. Keesaan ini digambarkan dalam firman Allah كن فيكون, jadilah maka terjadilah!. Karena itulah, maka tidak ada ceritanya Tuhan merasa kesulitan melakukan sesuatu sebab kesulitan itu hanya muncul dari sebuah proses.
Adapun seluruh proses tindakan yang terjadi secara gradual, bertahap dan pelan-pelan yang kita saksikan di dunia ini, misalnya: bayi diciptakan dari sperma dan sel telur yang berkembang perlahan menjadi janin hingga menjadi bayi, pohon yang diciptakan dari sebutir bibit yang berkembang menjadi tumbuhan besar, dan lain-lain, itu semua bukan menunjukkan bahwa tindakan Tuhan butuh proses. Hal itu terjadi karena kehendak Tuhan menginginkan kejadiannya bertahap seperti itu. Jadilah sperma yang membuahi sel telur, jadilah segumpal darah, jadilah segumpal daging dan seterusnya hingga jadilah bayi hingga jadilah orang tua hingga jadilah mayat! Kira-kira demikian kalau dijabarkan. Bila Allah berkehendak, maka seluruh proses ini bisa dilewati. Mukjizat para nabi semuanya berasal dari lompatan proses ini, tahu-tahu terjadi begitu saja dengan kehendak Allah.
6. Keesaan eksternal Tuhan dalam hal tindakan. Maksudnya, tindakan Tuhan itu pasti mutlak tanpa ada saingannya. Kalau Tuhan sudah bertindak maka tak ada sesuatu pun kekuatan yang mampu menyaingi apalagi menghentikannya. Sebab itulah, maka sangat sesat kalau ada yang menyangka bahwa selain Tuhan bisa secara independen memberikan manfaat atau mudharat sebab yang bisa melakukan itu hanyalah Tuhan semata.
Dari keesaan inilah seluruh perdebatan mengenai peran manusia (kasab), usaha manusia (ikhtiyar) dan kehendak manusia (iradah basyariyah) berkembang di kalangan umat islam. Intinya, dalam akidah Ahlussunnah Wal Jamaah tindakan Tuhan itu mutlak dan tak terbatas. Manusia punya kehendak, punya pilihan dan bisa berusaha, namun terjadi tidaknya tergantung pada kehendak Tuhan. Bila kehendak manusia akan suatu tindakan "disetujui" oleh Tuhan, maka terjadilah. Bila tidak, maka tak mungkin terjadi. Detail bahasan tentang ini akan dibahas pada kajian berikutnya.
Pertanyaan yang sering mengemuka dalam bahasan ini adalah soal keadilan Tuhan; Kalau tindakan Tuhan itu mutlak menentukan segala sesuatu, maka di mana keadilan Tuhan yang menyusahkan sebagian orang dan menggembirakan sebagian lainnya? Anda bisa membacanya di tulisan saya berikut:
https://www.facebook.com/wahabjember/posts/10203225325950158 bahasan NGAJI FILM
Dari keesaan mutlak Tuhan yang mencakup segala hal ini, maka kita tahu betapa bodohnya orang yang menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Orang-orang musyrik itu telah menodai kemuliaan Tuhan dengan tindakan mereka yang menyembah sosok selain Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka yakini. Dari sini juga kita tahu betapa konyolnya argumen Trilemma Epicurus yang menjadi senjata pamungkas para Ateis untuk meniadakan Tuhan. Detail bahasan Trilemma ini insya Allah akan kita bahas pada kajian berikutnya.
Dengan ini, kita juga tahu bahwa muslim manapun yang telah meyakini keesaan mutlak Tuhan sebagaimana dijabarkan di atas, maka dia seorang muwahhid yang tak mungkin kepikiran melakukan kesyirikan; Ketika dia berkerja, dia tak berpikir ada yang bisa memberinya rezeki kecuali Allah. Ketika dia berobat, dia tak berpikir ada yang bisa membuatnya sembuh kecuali Allah. Ketika dia berdoa di mana pun, baik itu di masjid, di rumah, di kantor, di hadapan guru atau bahkan di area kuburan, maka dia tak berpikir bahwa ada yang bisa dijadikan tujuan meminta dan mengharap kecuali Allah semata.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad
10 Juni 2018 ·