Oleh: Ustadz Zaenal Karomi
Assalamu’alaikum Wr Wb
Saya dalam kondisi puasa Sunnah dan pada saat itu ada undangan yang di dalamnya ada hidangan makanannya. Bagaimana tindakan kita, menghormati tamu dengan memakan hidangan tersebut atau tetap berpuasa? Dan saya pernah mendengar kalau tidak apa-apa makan dan meneruskam puasanya (puasa tidak batal) dengan tujuan menghormati tamu, apakah itu benar? Mohon penjelasannya.
Najam as Tsaqib, Jember
Wa’alaikum salam Wr Wb
Terima kasih atas pertanyaan yang dipercayakan kepada kami. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin. Adapun penjelasan jawaban dari pertanyaan anda adalah sebagai berikut:
Mengamalkan puasa sunnah dianjurkan dalam ajaran Islam guna menambah ketakwaan kepada Allah SWT serta mendidik umat Islam supaya dapat mengontrol seluruh hawa nafsu dan mendidik diri agar dapat menguasai diri, sehingga mudah membiasakan amal kebaikan dan meninggalkan larangan ajaran Islam.
Lalu bagaimana dengan permasalahan di atas? Orang yang puasa Sunnah diperbolehkan untuk tetap melaksanakan puasanya dan membatalkannya. Keterangan tersebut sesuai dengan hadis Nabi shallahu ‘alaihi wasallama dalam kitab sunan at Turmudzi sebagai berikut;
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود حدثنا شعبة : قال كنت أسمع سماك بن حرب يقول أحد ابني أم هانئ حدثني فلقيت أنا أفضلهما وكان إسمه جعدة وكانت أم هانئ جدته فحدثني عن جدته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فدعى بشراب فشرب ثم ناولها فشربت فقالت يا رسول الله أما إني كنت صائمة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم الصائم المتطوع أمين نفسه إن شاء صام وإن شاء فطر.
Hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallama masuk ke rumah Umu Hani’ kemudian beliau (Rasul) diundang untuk jamuan minuman, maka Nabi meminumnya. Kemudian Nabi menawarkan minuman kepadanya (Umu Hani’) dan ia berkenan untuk meminumnya. Selanjutnya, ia berkata kepada Nabi, “Yaa Rasulullah sesungguhnya saya orang yang berpuasa”. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Orang yang puasa sunah itu mempercayakan dirinya. Dalam artian jika berkehendak puasa maka berpuasalah dan jika berkehendak membatalkan maka batalkanlah.
Selain itu menurut madzhab Syafi’i yang menjadi rujukan kebanyakan orang Indonesia, bahwa diperbolehkan menikmati hidangan untuk menghormati pemilik makanan dan termasuk di antara udzur yang masyru’ bagi orang yang berpuasa sunah. Pendapat ini berdasarkan keterangan kitab fathul mu’in berikut.
فروع) يندب الأكل في صوم نفل ولو موءكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى . قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه ويجوز للضيف أن يأكل مما قدم له بلا لفظ من المضيف
Disunnahkan untuk menikmati hidangan dalam puasa sunah meskipun dianjurkan demi keridhoan pemilik makanan. Jika dikhawatirkan tidak menikmati hidangan tersebut (menahan puasanya) dapat menyinggung perasaan pemilik tersebut, meskipun di akhir siang hari karena ada perintah untuk membatalkan puasa dan dia akan mendapatkan pahala puasa yang sudah lewat dan dianjurkan mengqodho pada hari lain sebagai gantinya. Jika tidak menyebabkan tersinggung pemilik makanan maka disunnahkan tidak membatalkannya (lebih utama tetap berpuasa). Imam Ghazali telah berkata: disunnahkan berniat untuk untuk menyenangkan perasaan pemilik hidangan pada saat membatalkan puasa. Bagi tamu diperbolehkan menikmati makanan yang telah dihidangkan meskipun belum dipersilahkan dengan ucapan dari tuan rumah.
Puasa sunnah tidak ada paksaan di dalamnya. Jadi membatalkan juga tidak apa-apa, meneruskan juga tidak apa-apa. Kultur masyarakat kita memang sangat sopan dan ramah terhadap tamu. Sehingga memunculkan dilematis seperti yang anda rasakan, ketika puasa sunnah sedangkan tamu datang dan tidak berpuasa, atau kita yang sedang bertamu. Dalam Madzhab Syafi’i memperbolehkan memakan hidangannya, tetapi dapat mengganti puasa tersebut di hari lain. Walau batal, shaim mendapatkan pahala puasa sunnah tersebut.
Namun, hukum ini hanya berlaku bagi puasa sunnah, seperti puasa senin kamis, puasa 6 hari di bulan syawal, puasa tarwiyah arafah, dll. Adapun dalam puasa wajib, tidak ada pengecualian, bagi orang yang puasa, makan dan minum hidangan jamuan untuk menghormati tamu. Ketika makan atau minum maka apabila sengaja, bukan karena lupa, maka puasanya batal.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan dan bermanfa’at. Wallahu ‘alam bis shawab.
Tanya Jawab Agama
Fikih
Ustadz Zaenal Karomi
Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari semester akhir.
Saya dalam kondisi puasa Sunnah dan pada saat itu ada undangan yang di dalamnya ada hidangan makanannya. Bagaimana tindakan kita, menghormati tamu dengan memakan hidangan tersebut atau tetap berpuasa? Dan saya pernah mendengar kalau tidak apa-apa makan dan meneruskam puasanya (puasa tidak batal) dengan tujuan menghormati tamu, apakah itu benar? Mohon penjelasannya.
Najam as Tsaqib, Jember
Wa’alaikum salam Wr Wb
Terima kasih atas pertanyaan yang dipercayakan kepada kami. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin. Adapun penjelasan jawaban dari pertanyaan anda adalah sebagai berikut:
Mengamalkan puasa sunnah dianjurkan dalam ajaran Islam guna menambah ketakwaan kepada Allah SWT serta mendidik umat Islam supaya dapat mengontrol seluruh hawa nafsu dan mendidik diri agar dapat menguasai diri, sehingga mudah membiasakan amal kebaikan dan meninggalkan larangan ajaran Islam.
Lalu bagaimana dengan permasalahan di atas? Orang yang puasa Sunnah diperbolehkan untuk tetap melaksanakan puasanya dan membatalkannya. Keterangan tersebut sesuai dengan hadis Nabi shallahu ‘alaihi wasallama dalam kitab sunan at Turmudzi sebagai berikut;
حدثنا محمود بن غيلان حدثنا أبو داود حدثنا شعبة : قال كنت أسمع سماك بن حرب يقول أحد ابني أم هانئ حدثني فلقيت أنا أفضلهما وكان إسمه جعدة وكانت أم هانئ جدته فحدثني عن جدته أن رسول الله صلى الله عليه و سلم دخل عليها فدعى بشراب فشرب ثم ناولها فشربت فقالت يا رسول الله أما إني كنت صائمة فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم الصائم المتطوع أمين نفسه إن شاء صام وإن شاء فطر.
Hadis tersebut menerangkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallama masuk ke rumah Umu Hani’ kemudian beliau (Rasul) diundang untuk jamuan minuman, maka Nabi meminumnya. Kemudian Nabi menawarkan minuman kepadanya (Umu Hani’) dan ia berkenan untuk meminumnya. Selanjutnya, ia berkata kepada Nabi, “Yaa Rasulullah sesungguhnya saya orang yang berpuasa”. Maka Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Orang yang puasa sunah itu mempercayakan dirinya. Dalam artian jika berkehendak puasa maka berpuasalah dan jika berkehendak membatalkan maka batalkanlah.
Selain itu menurut madzhab Syafi’i yang menjadi rujukan kebanyakan orang Indonesia, bahwa diperbolehkan menikmati hidangan untuk menghormati pemilik makanan dan termasuk di antara udzur yang masyru’ bagi orang yang berpuasa sunah. Pendapat ini berdasarkan keterangan kitab fathul mu’in berikut.
فروع) يندب الأكل في صوم نفل ولو موءكدا لإرضاء ذي الطعام بأن شق عليه إمساكه ولو آخر النهار للأمر بالفطر ويثاب على ما مضى وقضى ندبا يوما مكانه فإن لم يشق عليه إمساكه لم يندب الإفطار بل الإمساك أولى . قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه ويجوز للضيف أن يأكل مما قدم له بلا لفظ من المضيف
Disunnahkan untuk menikmati hidangan dalam puasa sunah meskipun dianjurkan demi keridhoan pemilik makanan. Jika dikhawatirkan tidak menikmati hidangan tersebut (menahan puasanya) dapat menyinggung perasaan pemilik tersebut, meskipun di akhir siang hari karena ada perintah untuk membatalkan puasa dan dia akan mendapatkan pahala puasa yang sudah lewat dan dianjurkan mengqodho pada hari lain sebagai gantinya. Jika tidak menyebabkan tersinggung pemilik makanan maka disunnahkan tidak membatalkannya (lebih utama tetap berpuasa). Imam Ghazali telah berkata: disunnahkan berniat untuk untuk menyenangkan perasaan pemilik hidangan pada saat membatalkan puasa. Bagi tamu diperbolehkan menikmati makanan yang telah dihidangkan meskipun belum dipersilahkan dengan ucapan dari tuan rumah.
Puasa sunnah tidak ada paksaan di dalamnya. Jadi membatalkan juga tidak apa-apa, meneruskan juga tidak apa-apa. Kultur masyarakat kita memang sangat sopan dan ramah terhadap tamu. Sehingga memunculkan dilematis seperti yang anda rasakan, ketika puasa sunnah sedangkan tamu datang dan tidak berpuasa, atau kita yang sedang bertamu. Dalam Madzhab Syafi’i memperbolehkan memakan hidangannya, tetapi dapat mengganti puasa tersebut di hari lain. Walau batal, shaim mendapatkan pahala puasa sunnah tersebut.
Namun, hukum ini hanya berlaku bagi puasa sunnah, seperti puasa senin kamis, puasa 6 hari di bulan syawal, puasa tarwiyah arafah, dll. Adapun dalam puasa wajib, tidak ada pengecualian, bagi orang yang puasa, makan dan minum hidangan jamuan untuk menghormati tamu. Ketika makan atau minum maka apabila sengaja, bukan karena lupa, maka puasanya batal.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan dan bermanfa’at. Wallahu ‘alam bis shawab.
Tanya Jawab Agama
Fikih
Ustadz Zaenal Karomi
Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari semester akhir.
Baca juga kajian Sunnah berikut :
- Mengusap Kepala Anak Kecil Sunnah Yang Terlupakan
- Inilah Sunnah-sunnah Ibadah Haji
- Apakah Memakai Peci Sama Sunnahnya dengan Mengenakan Imamah?
- Ini Waktu Utama Mandi Sunnah Jumat
- Inilah Sembilan Kesunnahan dalam Khutbah