Deklarasi Konferensi Internasional Al-Azhar Tentang Pembaruan Pemikiran Islam


Deklarasi Konferensi Internasional Al-Azhar Tentang Pembaruan Pemikiran Islam - Kajian Islam Tarakan

Konferensi Internasional Al-Azhar Hasilkan 29 Rumusan Pembaharuan Pemikiran Islam



Konferensi Internasional Al-Azhar menghasilkan sejumlah rumusan terkait pembaharuan pemikiran Islam. Ada 29 rumusan yang dibacakan oleh pemimpin tertinggi Al-Azhar, Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib pada penutupan konferensi.



Hal ini disampaikan oleh Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Muchlis M Hanafi yang menjadi salah satu duta dari Indonesia.



Konferensi Internasional Al-Azhar tentang Pembaharuan Pemikiran Islam ini berlangsung dua hari, 27-28 Januari 2020. Konferensi dihadiri oleh para ulama, pemimpin dan cendekiawan Muslim dari 41 negara. Hadir juga dari Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. Din Syamsuddin dan TGB. Dr. H. Muhammad Zainul Majdi, MA.



“Konferensi dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menghadirkan pandangan-pandangan Islam yang moderat di tengah berbagai permasalahan yang muncul akhir-akhir ini. Pandangan tersebut sangat diperlukan untuk menunjukkan bahwa ajaran Islam sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat,” terang Muchlis setibanya di Jakarta, Jumat (31/01).



Menurutnya, selama dua hari konferensi yang dibagi dalam tujuh sesi, para ulama mendiskusikan berbagai topik, antara lain: prinsip-prinsip dasar pembaruan pemikiran Islam; kontra narasi terhadap pemikiran dan ideologi kelompok ekstrem, radikal dan teroris (jihad, perang, khilafah, takfir/pengafiran, hijrah, dan lainnya); hukum keluarga; hak-hak perempuan; korupsi, kolusi dan nepotisme; konsep al-muwaathanah (citizenship/kewargaan negara) dan lainnya.



Salah satu rumusan hasil konferensi, kata Muchlis, antara lain menegaskan bahwa pembaharuan (tajdiid) pemikiran Islam sangat dibutuhkan untuk merespon hal-hal baru yang belum ada penjelasannya secara tegas dan rinci dari teks-teks keagamaan (Al-Qur`an dan hadis), demi kemaslahatan umum. Fatwa keagamaan tentang itu dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu, tempat, dan adat kebiasaan masyarakat, dengan tetap memperhatikan prinsip dan kaidah umum syariat, serta kepentingan umum.



“Pembaharuan hanya boleh dilakukan oleh ulama yang kompeten di bidangnya agar tajdiid (pembaruan) tidak berubah menjadi tabdiid (pengaburan),” tegas Muchlis mengutip salah satu poin rumusan.



Rumusan lainnya mengindentifikasi bahwa pihak yang terdepan dalam menolak pembaharuan keagamaan adalah kelompok-kelompok ekstrem dan teroris pro kekerasan. Propaganda mereka berdiri di atas pemalsuan pemahaman dan manipulasi istilah-istilah agama seperti konsep mereka mengenai sistem pemerintahan, al-Haakimiyyah (Allah sebagai sumber hukum), hijrah, jihad, perang dan sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan mereka.



“Atas nama agama mereka melakukan pelanggaran pelanggaran terhadap jiwa, harta, dan kehormatan. Oleh karena itu, lembaga dan masyarakat wajib mendukung negara untuk menumpas bahaya kelompok-kelompok itu,” ujar Muchlis membacakan poin rumusan lainnya.



Dijelaskan juga dalam rumusan hasil konferensi ini, kata Muchlis, bahwa di antara pangkal kekeliruan berpikir kelompok-kelompok ekstrem-radikal adalah penyamaan antara masalah-masalah akidah dengan hukum-hukum fiqih yang bersifat praktis. Misalnya, anggapan bahwa perbuatan maksiat adalah kufur dan menganggap sebagian perbuatan mubah sebagai kewajiban. Inilah yang menjerumuskan masyarakat ke dalam kesulitan yang luar biasa dan sangat memperburuk citra Islam dan syariatnya.



Terkait jihad, konferensi ini merumuskan bahwa jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad. Perang itu bertujuan untuk menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis. Dalam Islam haram hukumnya mengganggu orang-orang yang berbeda agama dan memeranginya selama mereka tidak memerangi kaum Muslim.



“Yang berwenang menyatakan jihad perang adalah pemerintah yang sah dari suatu negeri berdasarkan undang-undang dasar dan hukum, bukan kelompok atau perorangan. Kelompok yang mengaku memiliki wewenang ini, merekrut dan melatih para pemuda untuk dijerumuskan ke dalam pembunuhan dan peperangan adalah kelompok perusak di muka bumi serta memerangi Allah dan Rasul-Nya. Instansi yang berwenang (di bidang keamanan dan hukum) harus melawan dan menumpas kelompok-kelompok semacam itu dengan tekad yang kuat,” kata Muchlis.



Konferensi Internasional Al-Azhar juga menyoroti masalah khilafah. Dalam salah satu rumusan yang dihasilkan, dijelaskan bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang diterima oleh para sahabat Rasulullah dan sesuai dengan kondisi zaman mereka. Namun demikian, tidak ada ketetapan dalam teks al-Qur’an dan hadis Nabi yang mewajibkan untuk menerapkan sistem pemerintahan tertentu.



“Sistem apapun yang ada di era modern ini dibenarkan oleh agama selama mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebebasan, melindungi negara/tanah air dan menjamin hak-hak warga negara apapun keyakinan dan agamanya, serta tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip syariat Islam,” demikian penegasan salah satu rumusan yang dibacakan oleh Muchlis.



Berikut ini Rumusan Hasil Konferensi Internasional Al-Azhar:



Bismillahirrahmanirrahim



DEKLARASI KONFERENSI INTERNASIONAL AL-AZHAR TENTANG PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM



Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Baginda Rasulullah beserta segenap keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikuti tuntunannya hingga hari Pembalasan.



Berangkat dari keyakinan Al-Azhar terhadap keniscayaan pembaruan permasalahan agama, keharusan meniti jalan syariat untuk mengimbangi hal-hal baru, dan demi mewujudkan kepentingan masyarakat umum dalam berbagai bidang, Al-Azhar mengundang para ulama terkemuka dari segala penjuru dunia untuk menyelenggarakan konferensi internasional dalam rangka membahas masalah “Pembaruan Pemikiran Islam” pada tanggal 2-3 Jumadilakhir 1441 H, bertepatan dengan tanggal 27-28 Januari 2020 M, bertempat di Gedung Pusat Konferensi Al-Azhar, Nasr City, Kairo. Presiden berkenan mengayomi konferensi ini dan membukanya melalui sambutan atas nama beliau yang disampaikan oleh Perdana Menteri Dr. Mustafa Madbouly.



Selama dua hari berturut-turut, konferensi menggelar tujuh sesi diskusi untuk membicarakan masalah-masalah pembaruan dan hal lain yang terkait dengan itu.



Untuk melanjutkan perjalanan Al-Azhar dalam pembaruan pemikiran dan pembaruan fikih sesuai metode wasathiyah yang sudah menjadi ciri khasnya, para ulama Al-Azhar mendeklarasikan dari pelataran Al-Azhar ke seluruh dunia beberapa hal sebagai berikut:



1. Pembaruan merupakan salah satu unsur yang melekat pada syariat Islam, tidak bisa dipisahkan, dan bertujuan untuk merespons hal-hal baru dari waktu ke waktu dan mewujudkan maslahat umum masyarakat.



2. Teks-teks keagamaan yang bersifat pasti ketetapannya (qath‘iyyu ats-tsubuut) dan pasti secara makna (qath‘iyyu ad-dalaalah) tidak bisa dijadikan objek pembaruan dalam keadaan apa pun, sedangkan teks-teks keagamaan yang maknanya bersifat dhanniy (mengandung dugaan kuat) maka itulah yang menjadi wadah ijtihad. Fatwa tentang itu dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu, tempat, dan adat kebiasaan masyarakat, dengan syarat pembaruan yang dilakukan sejalan dengan prinsip dan kaidah umum syariat, serta kepentingan umum.



3. Pembaruan adalah pekerjaan rumit, hanya bisa dilakukan oleh orang yang ilmunya mendalam. Siapa yang tidak memiliki kemampuan untuk itu agar menjauhinya, sehingga tajdiid (pembaruan) tidak berubah menjadi tabdiid (pengaburan).



4. Aliran-aliran ekstrem dan kelompok-kelompok teroris pro kekerasan, semuanya bersepakat menolak pembaruan. Propaganda mereka berdiri di atas pemalsuan pemahaman dan manipulasi istilah-istilah agama seperti konsep mereka mengenai sistem pemerintahan, al-haakimiyyah (Allah sebagai sumber hukum), hijrah, jihad, perang, dan sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan mereka. Mereka juga banyak melanggar prinsip-prinsip agama dalam bentuk pelanggaran terhadap jiwa, harta, dan kehormatan. Akibatnya, wajah Islam pun tercoreng di mata orang-orang Barat dan orang-orang Timur yang berpandangan seperti mereka. Banyak pihak menghubung-hubungkan kelakuan mereka yang menyimpang itu dengan ketentuan hukum syariat Islam, sehingga merebak apa yang disebut dengan Islamophobia di Barat. Oleh karena itu, lembaga dan masyarakat wajib mendukung negara untuk menumpas bahaya kelompok-kelompok itu.



5. Di antara pangkal kekeliruan berpikir kelompok-kelompok itu adalah penyamaan antara masalah-masalah akidah dengan hukum-hukum fiqih yang bersifat praktis, seperti anggapan bahwa perbuatan maksiat adalah kufur dan menganggap sebagian perbuatan mubah sebagai kewajiban. Inilah yang menjerumuskan masyarakat ke dalam kesulitan yang luar biasa dan sangat memperburuk citra Islam dan syariatnya.



6. Konsep Haakimiyyah menurut kelompok-kelompok ekstrem adalah bahwa kewenangan untuk memutuskan hukum hanya milik Allah. Siapa yang memutuskan hukum berarti telah menyaingi Allah dalam wewenang ketuhanan-Nya yang paling khusus. Siapa yang menyaingi Allah berarti telah kufur, halal darahnya, karena telah menyaingi Allah dalam sifat-Nya yang paling khusus. Tentu saja ini merupakan penyimpangan yang terang benderang terhadap teks-teks keagamaan yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Sunah yang menguraikan secara gamblang adanya penyerahan wewenang penetapan hukum kepada manusia. Semua keputusan Ahlul halli wal aqdi (pembuat keputusan dan kebijakan) dianggap sebagai ijtihad yang bermuara pada hukum Allah. Ibnu Hazm pernah berkata, “Di antara ketetapan hukum Allah adalah menyerahkan wewenang penetapan hukum kepada selain Allah.” Hal itu seperti tersebut dalam firman Allah Swt., “Maka kirimlah seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (juru damai) dari keluarga perempuan.” (An-Nisa'/4:35). Demikian juga firman Allah yang artinya, “…. Menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (Al-Ma'idah/5:95).



Dengan demikian, pandangan masyarakat tentang konsep haakimiyyah harus diluruskan dengan cara menyebarkan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan penjelasan bahwa putusan hukum yang diambil oleh seorang manusia yang patuh terhadap prinsip-prinsip agama tidak bertentangan dengan hukum Allah, bahkan termasuk bagian dari hukum Allah.



7. Takfiir (pengafiran/mengafirkan orang lain) adalah musibah yang dialami oleh umat Islam dari dulu hingga saat ini. Tidak ada yang berani melakukannya kecuali orang yang kurang ajar/sembrono terhadap agama atau tidak mengetahui ajarannya. Teks-teks keagamaan menjelaskan bahwa tuduhan kafir bisa berbalik kepada pelakunya sehingga harus menanggung dosanya. Pengafiran adalah penilaian terhadap isi hati seseorang yang merupakan hak khusus Allah yang tidak dimiliki oleh pihak lain. Jika ada seseorang yang mengucapkan kata-kata yang berpotensi mengandung kekufuran dari 99 segi dan tidak mengandung kekufuran dari satu segi, maka tidak boleh dituduh kafir karena adanya unsur kemungkinan (beriman). Hal ini sejalan dengan kaidah “sesuatu yang ada karena keyakinan tidak akan hilang kecuali dengan keyakinan”.



8. Seruan mereka untuk hijrah meninggalkan tanah air tidak memiliki pijakan sama sekali. Bahkan sebaliknya, sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi, “Tidak ada hijrah setelah penaklukan kota Makkah.” Dari sini, ajakan kelompok-kelompok teroris kepada para pemuda untuk hijrah dari kampung halaman menuju padang pasir dan bergabung dengan kelompok-kelompok bersenjata karena lari dari masyarakat yang mereka anggap kafir adalah ajakan yang lahir dari kesesatan dalam agama dan ketidaktahuan terhadap tujuan-tujuan umum syariat. Ketentuan hukum agama yang dinyatakan oleh para ulama dari Al-Azhar adalah bahwa setiap Muslim berhak tinggal di tempat mana pun di negeri kaum Muslim atau negeri lain bila jiwa, harta, dan kehormatannya aman, serta bebas melaksanakan ibadah. Adapun makna yang benar dari hijrah menurut istilah keagamaan pada zaman kita ini adalah meninggalkan maksiat, hijrah untuk mencari rezeki, menuntut ilmu, memakmurkan bumi dan memajukan negeri.



9. Ateisme adalah bahaya yang menghantam stabilitas masyarakat yang berpegang teguh pada agama dan menghormati ajaran-ajarannya. Ateisme adalah salah satu senjata perang pemikiran yang—dengan kedok kebebasan beragama—bermaksud untuk menghancurkan agama dan melemahkan ikatan masyarakat. Ateisme adalah sebab langsung dari ekstremisme dan terorisme. Semua kelompok masyarakat harus menyadari dampak buruk dari propaganda ateisme, mengingkari wujud Allah dan mengacaukan pemikiran kaum beriman. Para ulama juga harus mempersenjatai diri dengan metode pembaruan saat menangani bahaya-bahayanya. Mereka harus menggunakan dalil-dalil aqli, bukti-bukti alam, dan produk-produk ilmu empirik modern sebagai pendukung fakta-fakta keimanan ketika bertemu dan berdialog dengan para pemuda, sebagaimana juga harus menggunakan media-media komunikasi modern yang relevan.



10. Jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad. Perang itu bertujuan untuk menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis. Ketentuan agama yang tetap dalam Islam adalah haram hukumnya mengganggu orang-orang yang berbeda agama dan memeranginya selama mereka tidak memerangi kaum Muslim.



11. Yang berwenang menyatakan jihad perang adalah pemerintah yang sah dari suatu negeri berdasarkan undang-undang dasar dan hukum, bukan kelompok atau perorangan. Kelompok yang mengaku memiliki wewenang ini, merekrut dan melatih para pemuda untuk dijerumuskan ke dalam pembunuhan dan peperangan serta memotong leher adalah kelompok perusak di muka bumi serta memerangi Allah dan Rasul-Nya. Instansi yang berwenang (di bidang keamanan dan hukum) harus melawan dan menumpas kelompok-kelompok semacam itu dengan tekad yang kuat.



12. Negara menurut pandangan Islam adalah negara bangsa modern yang demokratis konstitusional. Al-Azhar—diwakili oleh para ulama kaum Muslim hari ini—menetapkan bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan negara agama (teokratis) karena tidak memiliki dalil dari khazanah pemikiran kita. Ini dipahami secara tegas dari Piagam Madinah dan praktek pemerintahan Rasul serta para khalifah rasyidin setelah beliau yang riwayatnya sampai kepada kita. Para ulama Islam, di samping menolak konsep negara agama, mereka juga menolak negara yang mengingkari agama dan menghalangi fungsinya dalam mengarahkan manusia.



13. Khilafah adalah sistem pemerintahan yang diterima oleh para sahabat Rasulullah dan sesuai dengan kondisi zaman mereka. Urusan agama dan dunia pun terselenggara dengan baik dengan sistem tersebut. Namun demikian, tidak ada ketetapan dalam teks al-Qur’an dan hadis Nabi yang mewajibkan untuk menerapkan sistem pemerintahan tertentu. Sebaliknya, sistem apa pun yang ada di era modern ini dibenarkan oleh agama selama mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebebasan, melindungi negara/tanah air, dan menjamin hak-hak warga negara, apa pun keyakinan dan agamanya, serta tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip syariat Islam.



14. Pemerintah/penguasa dalam Islam adalah orang yang diterima oleh rakyat untuk dijadikan penguasa sesuai prosedur yang telah ditentukan oleh konstitusi negara atau tata aturan lain yang berlaku di suatu negara. Sedangkan tugasnya adalah bekerja demi kemaslahatan rakyat, mewujudkan keadilan di antara mereka, menjaga tapal batas negara dan keamanan dalam negeri, mengelola kekayaan alam dan hasil bumi dengan cara terbaik, serta memenuhi kebutuhan warga dalam batas-batas yang memungkinkan.



15. Kewargaan negara (al-muwaathanah/citizenship) secara penuh adalah hak asli setiap warga negara. Tidak ada perbedaan di antara mereka atas dasar agama, mazhab, suku atau warna kulit. Ini adalah prinsip yang mendasari negara Islam pertama dan terkandung dalam Piagam Madinah. Kaum Muslim harus berusaha menghidupkan prinsip dasar ini.



16. Salah satu kebajikan yang diserukan Islam kepada kita adalah mengucapkan selamat kepada kaum non-Muslim saat perayaan hari besar mereka. Hukum haram terkait itu yang dikatakan kelompok ekstrem merupakan sikap kaku dan menutup diri (eksklusif), bahkan kebohongan yang mengatasnamakan tujuan umum syariat Islam. Klaim keharaman ini masuk dalam kategori fitnah yang lebih keras daripada pembunuhan, dan menyakiti non-Muslim. Ucapan selamat kepada non-Muslim tidak bertentangan dengan akidah Islam sebagaimana dikatakan kaum ekstremis.



17. Para pejabat yang berwenang harus menghentikan propaganda media yang berisikan pemikiran-pemikiran semacam ini, terutama pada saat-saat peringatan hari besar non-Muslim, karena bisa menimbulkan keresahan dan kebencian terpendam di antara para anggota satu kelompok masyarakat.



18. Kejahatan yang dilakukan kelompok-kelompok teroris dan kelompok-kelompok bersenjata, terutama membunuh orang-orang yang tidak berdosa dari masyarakat sipil, tentara dan polisi serta orang-orang lain yang sedang melaksanakan tugas menjaga masyarakat dan tapal batas negara, juga menyerang properti umum dan khusus, merupakan kejahatan membuat kerusakan di bumi. Oleh karenanya, harus ada tindakan secara agama, hukum, keamanan dan militer. Juga harus diambil tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok teroris dan negara-negara yang melindungi dan menyokongnya.



19. Narkoba, segala jenis minuman yang memabukkan—apa pun namanya, sedikit atau banyak—dan apa pun yang bisa mempengaruhi akal dan perilaku adalah haram. Harus diambil segala tindakan melalui pendidikan, pengetahuan, dakwah dan keamanan yang melarang konsumsi dan peredarannya. Juga harus ditetapkan sanksi tegas kepada produsen dan pengedarnya. Pusat pengobatan dan rehabilitasi pecandu juga harus didukung agar meningkatkan kemampuannya dalam mengobati para pecandu lalu mengembalikannya ke tengah masyarakat. Pihak-pihak terkait juga harus melarang penampilan para pedagang dan pengguna narkoba dalam karya-karya drama dalam wujud yang bisa menarik perhatian para pemuda untuk mengikutinya.



20. Melawan korupsi, kolusi, nepotisme, dan diskriminasi zalim kepada pihak-pihak yang memiliki kesempatan sama adalah tanggung jawab agama, hukum, masyarakat, dan moral. Setiap pejabat akan dimintai pertanggungjawaban sesuai wewenangnya. Semua pihak juga harus mendukung negara dalam memberantasnya, karena bahayanya yang sangat besar terhadap pembangunan dan stabilitas masyarakat.



21. Bunuh diri adalah kejahatan tercela yang muncul secara tidak biasa di masyarakat kita. Keburukannya melebihi keburukan membunuh orang lain. Orang yang membunuh orang lain, meski dianggap telah membunuh umat manusia seluruhnya, dia bisa jadi terhindar dari hukuman karena pengampunan para ahli waris, atau mendapatkan hukuman di dunia. Sedangkan orang yang bunuh diri, mati karena kejahatannya sendiri. Para ulama, pemikir, dan orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan, pengetahuan, dan kepemudaan harus mencari sebab-sebab yang mendorong sebagian pemuda untuk melakukan kejahatan keji ini, lalu mengajukan solusi-solusi jangka pendek, menengah, dan panjang untuk menghentikan kejahatan pendatang di dalam masyarakat timur kita yang agamis.



22. Kejahatan balas dendam adalah warisan buruk dari zaman Jahiliah, tidak sejalan dengan masyarakat beradab yang mengimani agama. Jika terjadi kejahatan pembunuhan, hukuman pembunuh harus diserahkan kepada penegak hukum. Para ahli waris atau wali tidak memiliki hak terkait hukuman pembunuh, kecuali pemberian maaf dan diat. Perbuaan para ahli waris yang membunuh si pembunuh atau yang lain, atau mengusir paksa keluarga pembunuh dari rumahnya, atau menyerang properti dalam bentuk apa pun merupakan kejahatan yang tidak kurang buruknya daripada pembunuhan itu sendiri. Pihak-pihak yang berwenang harus mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menolaknya.



23. Hoaks adalah bahaya besar yang mengancam keamanan dan pembangunan masyarakat. Hoaks adalah kejahatan besar yang keharamannya disebutkan secara eksplisit di dalam agama. Pihak-pihak yang berwajib harus memburunya, mengungkapkan kepalsuannya, menjelaskan bahayanya, dan menetapkan sanksi hukum tegas kepada para penyebarnya.



24. Pariwisata adalah perkara yang dibolehkan oleh agama-agama samawi. Kita harus meluruskan pandangan masyarakat mengenai hal itu. Negara juga harus melindungi para wisatawan dan menjaga mereka dari orang-orang yang menyerang dan menyakitinya dalam bentuk apa pun. Para penyerang itu harus dihukum sesuai undang-undang yang berlaku. Visa masuk yang diterbitkan oleh negara merupakan jaminan keamanan yang harus dipatuhi secara agama.



25. Peninggalan purbakala adalah warisan budaya yang memperkenalkan sejarah bangsa atau peradaban, bukan patung atau berhala, sebagaimana anggapan orang yang berpikiran sesat. Oleh karena itu, tidak boleh diserang, dirusak atau diubah dari bentuk aslinya. Benda purbakala adalah hak milik semua generasi yang diurus oleh negara demi kemaslahatannya, sampai pun bila itu ditemukan di lahan milik pribadi atau organisasi. Harus ditetapkan hukuman secara tegas bagi siapa pun yang menjual atau menyelundupkannya ke luar negeri.



26. Seorang perempuan pada zaman kita ini boleh bepergian tanpa disertai mahram jika perjalanannya aman, didampingi teman sesama perempuan atau dilengkapi sarana yang bisa menolak terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan.



27. Seorang perempuan boleh menduduki jabatan apa pun yang dapat dia jalankan, termasuk jabatan tertinggi di negara.



28. Perceraian zalim tanpa sebab yang diakui oleh agama adalah haram dan menimbulkan sanksi hukum, baik timbul dari keinginan suami maupun permintaan dari istri, karena dapat merugikan keluarga, terutama anak-anak, bertentangan dengan akhlak Islam, dan mengabaikan tujuan agama dalam pernikahan, yaitu mewujudkan kemapanan dan kelanggengan. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dijauhi untuk menghindari kekacauan akibat perceraian. Arbitrasi sebelum terjadi perceraian diperintahkan oleh agama. Para ulama yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan fatwa hendaknya memilih pendapat yang paling mudah ketika menetapkan hukum syara terkait kasus-kasus perceraian yang diajukan kepadanya.



29. Harus ada kompensasi bagi harta bersama dalam mengembangkan kekayaan keluarga. Misalnya, istri yang mencampur hartanya dengan harta suami atau anak yang bekerja bersama ayahnya dalam berdagang atau usaha lain. Masing-masing harus diberikan haknya yang diambil dari harta warisan sebelum dibagi sesuai jumlahnya jika diketahui atau sesuai kesepakatan, berdasarkan pandangan orang yang ahli di bidang itu, bila tidak diketahuinya kadarnya secara pasti.



Sebagai penutup, Al-Azhar asy-Syarif beserta segenap ulama dan cendekiawan Muslim menghaturkan terima kasih kepada Yang Mulia Presiden Abdul Fattah as-Sisi atas dukungannya terhadap kegiatan Konferensi dan sambutan pembukanya yang memberi pengaruh kuat terhadap jalannya konferensi, sehingga menjadi faktor utama kesuksesannya. Al-Azhar juga menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada para ulama yang terhormat, tokoh masyarakat, awak media dan semua yang hadir untuk mengikuti konferensi ini. Akhirnya, Al-Azhar ingin menyampaikan bahwa aktivitas Pusat Pembaruan Al-Azhar Internasional terus berjalan untuk merespons permasalahan-permasalahan baru begitu terjadi.



Terima kasih kepada semuanya, sampai bertemu lagi dalam konferensi-konferensi yang akan datang.



Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Wallâhu Waliyyut taufîq.



Kairo, 28 Januari 2020




Konferensi Internasional Al-Azhar Hasilkan 29 Rumusan Pembaharuan Pemikiran Islam - Kajian Islam Tarakan



Sumber Website : https://kemenag.go.id/berita/read/512680/konferensi-internasional-al-azhar-hasilkan-29-rumusan-pembaharuan-pemikiran-islam (Jum'at, 31 Januari 2020 13:25 WIB)
©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Deklarasi Konferensi Internasional Al-Azhar Tentang Pembaruan Pemikiran Islam - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®