Pertanyaan :
Assalamualaikum warahmatullahhiwabarakatuh.
Ilmu Fiqih dan Ilmu Hadits adalah dua disiplin ilmu yang berbeda, tetapi kita mengenal istilah Fiqih Sunnah, apakah yang dimaksud dengan fiqih sunnah? termasuk kategori ilmu fiqih atau ilmu hadits? Apakah kalau namanya sudah fiqih sunnah, lantas isinya pasti sesuai dengan sunnah juga?
Wassalam
Ahmad Sarwat, Lc
Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Istilah Fiqih Sunnah tidak pernah ada sebelumnya di dalam dunia ilmu syariah. Yang kita kenal adalah istilah fiqul hadits atau hadits ahkam. Selain itu yang kita kenal adalah fiqih yang dinisbahkan kepada salah satu nama dari pendirinya yang berlevel mujtahid mutlak mustaqil, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i atau Ahmad. Maka kita kenal istilah Fiqih Hanafi, Fiqih Maliki, Fiqih Syafi'i dan Fiqih Hambali. Tidak pernah kita kenal istilah Fiqih Sunnah. Sunnah? Sunnah itu siapa? Nama orang atau nama yayasan?
Penamaan istilah Fiqih Sunnah ini sebenarnya agak rancu atau blunder. Kalau maksudnya adalah fiqih yang mengacu kepada Rasulullah SAW, bukankah semua mazhab fiqih itu memang mengacu kepada Rasulullah SAW? Mana ada fiqih yang tidak mengacu kepada Rasulullah SAW? Semua ilmu fiqih pastilah mengacu dan merujuk kepada Rasulullah SAW.
Kalau ternyata jadinya saling berbeda satu sama lain, karena metode ijtihadnya bisa jadi memang berbeda-beda, maka para shahabat pun saling berbeda satu sama lain. Maka perbedaan pendapat di kalangan ulama tidak lantas membuatnya seolah keluar dari ajaran Rasululah SAW. Apa yang dianggap shahih menurut ulama mazhab Hanafi boleh jadi tidak shahih menurut ulama Syafi'i dan sebaliknya. Tetapi tidak ada satupun mazhab fiqih yang berorientasi kepada selain Rasulullah SAW.
Karena metodologi dan hasil-hasil ijtihadnya satu sama lain ada perbedaan, lalu orang-orang menamakan dan membedakan masing-masingnya itu dengan nama-nama pendirinya. Penamaan ini juga tidak lantas membuat fiqih itu keluar dari ajaran Rasulullah SAW. Bukankah kita juga sering menyebut hasil ijtihad Abu Bakar dengan sebutan Fiqih Abu Bakar. Hasil pemahaman Umar bin Al-Khattab juga sering disebut dengan Fiqih Umar. Dan nanti ada Fiqih Utsman, Fiqih Ali, Fiqih Ibnu Umar, Fiqih Ibnu Abbas, Fiqih Ibnu Mas'ud dan seterusnya.
Apakah ketika kita sebut nama-nama mereka sebagai cara untuk menjelaskan hasil-hasil ijtihad para shahabat itu bisa dijadikan dasar bahwa mereka telah menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW? Tentu saja tidak.
Persis sebagaimana bacaan qiraat yang berbeda-beda itu, ada 7 qiraat yang mutawatir dan 3 yang shahih, kemudian semua jenis qiraat itu dinamakan sesuai dengan nama para ulama ahli bacaan Al-Quran. Kita di Indonesia yang kebanyakan umat Islam di dunia kenal dengan qiraat riwayat Hafsh (w. 180 H) dan 'Ashim (w. 128 H).
Lalu apakah bacaan qiraat mereka tidak mengacu kepada cara membaca Al-Quran sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW? Jawabannya tentu saja semua aliran qiraat itu mengacu dan merujuk kepada Rasulullah SAW. Bahkan riwayatnya mutawatir.
Demikian juga dengan mazhab fiqih, meski namanya dinisbahkan kepada masing-masing pendiri mazhabnya, tetapi rujukannya tetap kepada Rasulllah SAW. Bahkan rujukan yang paling dijamin validitas dan kebenarannya justru lewat mazhab-mazhab fiqih itu sendiri. Sebab di setiap mazhab itu telah berkumpul jutaan ulama ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli qiraat, ahli fiqih, ahli ushul fiqih, ahli sastra Arab yang terbaik dari semua cabang ilmu di masanya.
Mereka sepanjang 12 abad ini telah bekerja keras untuk menjaga kemurnian agama Islam serta menggali dengan gigih hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga menjadi cabang ilmu agama dengan sangat dalam dan luas. Lalu melahirkan produk terbaik yang pernah ada di dalam sejarah, dengan melewati mazhab-mazhab lainnya yang sudah tenggelam di makan zaman.
Lalu kalau semua itu dianggap 'sampah' dan harus dibuang atau ditinggalkan begitu saja dan kita kembali saja kepada Rasulllah SAW, artinya kita malah kembali ke zaman unta. Produk yang telah 12 abad disepakati umat Islam untuk dijadikan acuran resmi agama Islam, tiba-tiba mau ditumbangkan begitu saja oleh sebuah buku kecil yang 'mengaku-ngaku' paling sunnah.
Memang kalangan anti mazhab sampai hari ini masih saja mencari-cari celah untuk menusuhkkan belatinya di ulu hati umat Islam. Lucunya, karena kelemahan pendidikan fiqih di tengah umat, mudah saja dibohongi atau dicuci otaknya sedemikian rupa.
Jutaan kitab fiqih yang sudah kokoh bertahan sepanjang zaman, tiba-tiba mau 'dihapus' begitu saja dengan orang yang berijtihad sendirian saja. Anehnya, tidak pernah ada yang bisa jamin ijtihadnya itu benar atau tidak. Pekerjaan yang dikerjakan oleh jutaan pakar ulama yang tersebar di seluruh dunia Islam dan sudah berlangsung sepanjang 12 abad ini kok tiba-tiba mau 'dinasakh' dengan pekerjaan seorang yang menulis cuma 3 jilid buku, mentang-mentang judulnya pakai menyebut istilah 'sunnah'.
Kita bisa bertanya dalam hati,"Terus, jutaan kitab fiqih yang sudah tertulis selama 12 abad ini, bagaimana statusnya? Apa dianggap 'sampah' hanya karena namanya dinisbahkan kepada nama pendirinya dan tidak pakai istilah 'sunnah'?"
Ketika kita memakai istilah 'fiqih sunnah', dengan keyakinan seperti itu, sebenarnya kita telah 'menuduh' bahwa fiqih yang lain itu tidak sunnah atau tidak mengacu kepada Rasulullah SAW. Ini sebuah pemahanan yang terlalu awam dan menyederhanakan masalah seenaknya.
Kerancuan Yang Terlanjur Menyebar
Tetapi saya boleh katakan kerancuan ini memang sudah terlanjur menyebar dan sulit untuk diluruskan kembali. Contohnya adalah apa yang dikemukakan oleh salah satu pengurus jamaah pengajian yang saya asuh. Ternyata mereka pun ikut jadi korban kerancuan pemahamana seperti ini. Karena saking jauhnya mereka dari kajian ilmu fiqih selama ini, sampai-sampai beranggapan bahwa ilmu fiqih yang sahih itu hanyalah yang tertulis di dalam kitab Fiqih Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq. Dan ngotot minta kajian menggunakan kitab Fiqih Sunnah. Semacam ada pesanan khusus dari petingginya agar kalau membahas fiqih harus pakai kitab Fiqih Sunnah.
Memang kitab ini 'diendors' oleh sebuah jamaah yang banyak pengikutnya, yaitu Al-Ikhwan Al-Muslimun. Pimpinan tertingginya yaitu Hasan Al-Banna (w. 1368 H - 1949 M) memang bangga dengan karya salah satu anggotanya, dan semacam memberi dorongan kepada semua anggotanya untuk merujuk dalam masalah fiqih ke kitab Fiqhussunnah. Kalimatnya tercantum di dalam muqaddimah kitab Fiqih Sunnah.
Pesan yang baik ini kadang suka disalah-tafsirkan oleh para pengikutnya dan simpatisannya tanpa terarah, kadang dijadikan alasan untuk meninggalkan kitab fiqih lainnya dan mencukupkan diri dengan kitab ini saja. Padahal kalau kita baca baik-baik pesan dari sang Pendiri, beliau memuji karena kitab ini disusun secara simple, sederhana, tidak ada istilah-istilah yang membingungkan buat orang awam. Juga tidak pakai ta'rif (definisi) yang njelimet. Pokoknya bagus buat orang awam, kira-kira begitu pesannya. Sebenarnya tidak ada ungkapan bahwa inilah kitab fiqih yang shahih atau yang paling sesuai sunnah.
Lalu apakah kitab Fiqih Sunnah itu sudah final kesunnahannya?
Jawabannya tidak juga, setidaknya belakangan juga muncul kitab lain yang bernama Shahih Fiqih Sunnah karya Kamal Sayid Salim Abu Malik. Maka terjadi semacam 'perang judul' dalam hal ini. Dengan ditambahkannya kata 'Shahih' pada judulnya, seolah seperti mengatakan begini,"Silahkan Anda klaim buku itu sebagai sunnah, tapi hadits-haditsnya shahih atau tidak?".
Kebetulan hari ini istilah 'sunnah' sedang naik daun dan menjadi semacam trand tersendiri, apa-apa selalu dikaitkan dengan sunnah. Tetapi saya kok kemudian jadi agak curiga, jangan-jangan ini pintar-pintarnya pihak penerbit memanfaatkan trand ini. Mereka ciptakan semacam konflik dan debat tak berkesudahan di tengah umat, biar dagangan kitabnya laris manis laku keras. Semoga saja saya keliru dan nampaknya banyak yang tidak sepakat dengan kecurigaan saya.
Fiqhul Hadits
Kalau kita ingin membahas hadits-hadits nabawi dari sisi fiqihnya, biasanya di dalam kitab-kitab hadits ada istilah khusus yaitu Fiqhul Hadits. Maksudnya setelah bicara tentang sanad, perawi, status keshahihan dan lain-lainnya, pembahasan kemudian dikhususkan kepada pembahan fiqih yang terkait dengan hadits tersebut.
Biasanya rujukannya dikembalikan kepada para ahli fiqih, setidaknya kitab-kitab hadits yang disusun oleh para ahli fiqih. Walaupun terkadang penulis kitab sendiri yang malah membuat kajian fiqih atas hadits itu.
Hadits Ahkam
Ada istilah lain yaitu Hadits Ahkam. Maksudnya adalah kitab atau kajian tentang hadits, namun hadits-haditsnya dikhususkan hanya yang terkait dengan hukum fiqih. Seperti kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar A-Asqalani (w. 852 H) atau kitab Nailul Authar karya Asy-Syaukani (w. 1250 H).
Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Istilah Fiqih Sunnah tidak pernah ada sebelumnya di dalam dunia ilmu syariah. Yang kita kenal adalah istilah fiqul hadits atau hadits ahkam. Selain itu yang kita kenal adalah fiqih yang dinisbahkan kepada salah satu nama dari pendirinya yang berlevel mujtahid mutlak mustaqil, seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i atau Ahmad. Maka kita kenal istilah Fiqih Hanafi, Fiqih Maliki, Fiqih Syafi'i dan Fiqih Hambali. Tidak pernah kita kenal istilah Fiqih Sunnah. Sunnah? Sunnah itu siapa? Nama orang atau nama yayasan?
Penamaan istilah Fiqih Sunnah ini sebenarnya agak rancu atau blunder. Kalau maksudnya adalah fiqih yang mengacu kepada Rasulullah SAW, bukankah semua mazhab fiqih itu memang mengacu kepada Rasulullah SAW? Mana ada fiqih yang tidak mengacu kepada Rasulullah SAW? Semua ilmu fiqih pastilah mengacu dan merujuk kepada Rasulullah SAW.
Kalau ternyata jadinya saling berbeda satu sama lain, karena metode ijtihadnya bisa jadi memang berbeda-beda, maka para shahabat pun saling berbeda satu sama lain. Maka perbedaan pendapat di kalangan ulama tidak lantas membuatnya seolah keluar dari ajaran Rasululah SAW. Apa yang dianggap shahih menurut ulama mazhab Hanafi boleh jadi tidak shahih menurut ulama Syafi'i dan sebaliknya. Tetapi tidak ada satupun mazhab fiqih yang berorientasi kepada selain Rasulullah SAW.
Karena metodologi dan hasil-hasil ijtihadnya satu sama lain ada perbedaan, lalu orang-orang menamakan dan membedakan masing-masingnya itu dengan nama-nama pendirinya. Penamaan ini juga tidak lantas membuat fiqih itu keluar dari ajaran Rasulullah SAW. Bukankah kita juga sering menyebut hasil ijtihad Abu Bakar dengan sebutan Fiqih Abu Bakar. Hasil pemahaman Umar bin Al-Khattab juga sering disebut dengan Fiqih Umar. Dan nanti ada Fiqih Utsman, Fiqih Ali, Fiqih Ibnu Umar, Fiqih Ibnu Abbas, Fiqih Ibnu Mas'ud dan seterusnya.
Apakah ketika kita sebut nama-nama mereka sebagai cara untuk menjelaskan hasil-hasil ijtihad para shahabat itu bisa dijadikan dasar bahwa mereka telah menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW? Tentu saja tidak.
Persis sebagaimana bacaan qiraat yang berbeda-beda itu, ada 7 qiraat yang mutawatir dan 3 yang shahih, kemudian semua jenis qiraat itu dinamakan sesuai dengan nama para ulama ahli bacaan Al-Quran. Kita di Indonesia yang kebanyakan umat Islam di dunia kenal dengan qiraat riwayat Hafsh (w. 180 H) dan 'Ashim (w. 128 H).
Lalu apakah bacaan qiraat mereka tidak mengacu kepada cara membaca Al-Quran sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW? Jawabannya tentu saja semua aliran qiraat itu mengacu dan merujuk kepada Rasulullah SAW. Bahkan riwayatnya mutawatir.
Demikian juga dengan mazhab fiqih, meski namanya dinisbahkan kepada masing-masing pendiri mazhabnya, tetapi rujukannya tetap kepada Rasulllah SAW. Bahkan rujukan yang paling dijamin validitas dan kebenarannya justru lewat mazhab-mazhab fiqih itu sendiri. Sebab di setiap mazhab itu telah berkumpul jutaan ulama ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli qiraat, ahli fiqih, ahli ushul fiqih, ahli sastra Arab yang terbaik dari semua cabang ilmu di masanya.
Mereka sepanjang 12 abad ini telah bekerja keras untuk menjaga kemurnian agama Islam serta menggali dengan gigih hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga menjadi cabang ilmu agama dengan sangat dalam dan luas. Lalu melahirkan produk terbaik yang pernah ada di dalam sejarah, dengan melewati mazhab-mazhab lainnya yang sudah tenggelam di makan zaman.
Lalu kalau semua itu dianggap 'sampah' dan harus dibuang atau ditinggalkan begitu saja dan kita kembali saja kepada Rasulllah SAW, artinya kita malah kembali ke zaman unta. Produk yang telah 12 abad disepakati umat Islam untuk dijadikan acuran resmi agama Islam, tiba-tiba mau ditumbangkan begitu saja oleh sebuah buku kecil yang 'mengaku-ngaku' paling sunnah.
Memang kalangan anti mazhab sampai hari ini masih saja mencari-cari celah untuk menusuhkkan belatinya di ulu hati umat Islam. Lucunya, karena kelemahan pendidikan fiqih di tengah umat, mudah saja dibohongi atau dicuci otaknya sedemikian rupa.
Jutaan kitab fiqih yang sudah kokoh bertahan sepanjang zaman, tiba-tiba mau 'dihapus' begitu saja dengan orang yang berijtihad sendirian saja. Anehnya, tidak pernah ada yang bisa jamin ijtihadnya itu benar atau tidak. Pekerjaan yang dikerjakan oleh jutaan pakar ulama yang tersebar di seluruh dunia Islam dan sudah berlangsung sepanjang 12 abad ini kok tiba-tiba mau 'dinasakh' dengan pekerjaan seorang yang menulis cuma 3 jilid buku, mentang-mentang judulnya pakai menyebut istilah 'sunnah'.
Kita bisa bertanya dalam hati,"Terus, jutaan kitab fiqih yang sudah tertulis selama 12 abad ini, bagaimana statusnya? Apa dianggap 'sampah' hanya karena namanya dinisbahkan kepada nama pendirinya dan tidak pakai istilah 'sunnah'?"
Ketika kita memakai istilah 'fiqih sunnah', dengan keyakinan seperti itu, sebenarnya kita telah 'menuduh' bahwa fiqih yang lain itu tidak sunnah atau tidak mengacu kepada Rasulullah SAW. Ini sebuah pemahanan yang terlalu awam dan menyederhanakan masalah seenaknya.
Kerancuan Yang Terlanjur Menyebar
Tetapi saya boleh katakan kerancuan ini memang sudah terlanjur menyebar dan sulit untuk diluruskan kembali. Contohnya adalah apa yang dikemukakan oleh salah satu pengurus jamaah pengajian yang saya asuh. Ternyata mereka pun ikut jadi korban kerancuan pemahamana seperti ini. Karena saking jauhnya mereka dari kajian ilmu fiqih selama ini, sampai-sampai beranggapan bahwa ilmu fiqih yang sahih itu hanyalah yang tertulis di dalam kitab Fiqih Sunnah, karya As-Sayyid Sabiq. Dan ngotot minta kajian menggunakan kitab Fiqih Sunnah. Semacam ada pesanan khusus dari petingginya agar kalau membahas fiqih harus pakai kitab Fiqih Sunnah.
Memang kitab ini 'diendors' oleh sebuah jamaah yang banyak pengikutnya, yaitu Al-Ikhwan Al-Muslimun. Pimpinan tertingginya yaitu Hasan Al-Banna (w. 1368 H - 1949 M) memang bangga dengan karya salah satu anggotanya, dan semacam memberi dorongan kepada semua anggotanya untuk merujuk dalam masalah fiqih ke kitab Fiqhussunnah. Kalimatnya tercantum di dalam muqaddimah kitab Fiqih Sunnah.
Pesan yang baik ini kadang suka disalah-tafsirkan oleh para pengikutnya dan simpatisannya tanpa terarah, kadang dijadikan alasan untuk meninggalkan kitab fiqih lainnya dan mencukupkan diri dengan kitab ini saja. Padahal kalau kita baca baik-baik pesan dari sang Pendiri, beliau memuji karena kitab ini disusun secara simple, sederhana, tidak ada istilah-istilah yang membingungkan buat orang awam. Juga tidak pakai ta'rif (definisi) yang njelimet. Pokoknya bagus buat orang awam, kira-kira begitu pesannya. Sebenarnya tidak ada ungkapan bahwa inilah kitab fiqih yang shahih atau yang paling sesuai sunnah.
Lalu apakah kitab Fiqih Sunnah itu sudah final kesunnahannya?
Jawabannya tidak juga, setidaknya belakangan juga muncul kitab lain yang bernama Shahih Fiqih Sunnah karya Kamal Sayid Salim Abu Malik. Maka terjadi semacam 'perang judul' dalam hal ini. Dengan ditambahkannya kata 'Shahih' pada judulnya, seolah seperti mengatakan begini,"Silahkan Anda klaim buku itu sebagai sunnah, tapi hadits-haditsnya shahih atau tidak?".
Kebetulan hari ini istilah 'sunnah' sedang naik daun dan menjadi semacam trand tersendiri, apa-apa selalu dikaitkan dengan sunnah. Tetapi saya kok kemudian jadi agak curiga, jangan-jangan ini pintar-pintarnya pihak penerbit memanfaatkan trand ini. Mereka ciptakan semacam konflik dan debat tak berkesudahan di tengah umat, biar dagangan kitabnya laris manis laku keras. Semoga saja saya keliru dan nampaknya banyak yang tidak sepakat dengan kecurigaan saya.
Fiqhul Hadits
Kalau kita ingin membahas hadits-hadits nabawi dari sisi fiqihnya, biasanya di dalam kitab-kitab hadits ada istilah khusus yaitu Fiqhul Hadits. Maksudnya setelah bicara tentang sanad, perawi, status keshahihan dan lain-lainnya, pembahasan kemudian dikhususkan kepada pembahan fiqih yang terkait dengan hadits tersebut.
Biasanya rujukannya dikembalikan kepada para ahli fiqih, setidaknya kitab-kitab hadits yang disusun oleh para ahli fiqih. Walaupun terkadang penulis kitab sendiri yang malah membuat kajian fiqih atas hadits itu.
Hadits Ahkam
Ada istilah lain yaitu Hadits Ahkam. Maksudnya adalah kitab atau kajian tentang hadits, namun hadits-haditsnya dikhususkan hanya yang terkait dengan hukum fiqih. Seperti kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar A-Asqalani (w. 852 H) atau kitab Nailul Authar karya Asy-Syaukani (w. 1250 H).
Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Kirim Pertanyaan : tanya@rumahfiqih.com
Baca juga kajian Sunnah berikut :
- Apakah Setiap Perbuatan Nabi adalah Sunnah Yang Wajib Diikuti
- Salafi Wahhabi Menyelisihi Sunnah
- Hukum Mempersiapkan Bekal untuk Ziarah Kubur Nabi
- Berangkat Salat Jumat Dari Tempat Kerja, Kapan Mandi Sunahnya?
- Tidak Selalu, Kalau Tidak Sunnah Berarti Bid’ah