Perbedaan Antara Karamah dan Cerita
Banyak yang mencampur adukkan antara karamah dan cerita sehingga cerita dianggap karamah dan karamah pun dianggap sekedar cerita. Padahal keduanya berbeda. Perbedaannya sebagai berikut:
Karamah adalah bentuk lain dari mukjizat tetapi tidak dibarengi dengan klaim kenabian. Karena sejenis, maka cirinya juga sama, yaitu berupa hal yang terbukti secara empiris sehingga orang atau masyarakat akan takjub dan merasa tidak mampu menandinginya. Fokuslah pada kata "terbukti secara empiris" untuk menegaskan bahwa semua karamah, sama dengan mukjizat, selalu berupa hal yang disaksikan orang banyak sehingga orang banyak itu merasa takjub sekaligus merasa lemah karena tidak mampu meniru.
Contoh karamah adalah kehebatan wali yang ketika ada orang sakit meminta doa, begitu didoakan langsung sembuh; Ketika ada paceklik, begitu berdoa saat itu juga langsung hujan deras; Ketika ditembak musuh ternyata tidak mempan dan yang semisal itu yang empiris. Karena empiris, maka urusannya bukan pada percaya atau tidak sebab sidah nyata sebagai fakta.
Ada juga bentuk karamah yang non-kesaktian tapi berupa keistiqamahan yang luar biasa, semisal tetap rutin mengajar meski sakit keras, tetap rutin bersedekah meskipun jatuh miskin, tetap rutin ibadah sunnah meskipun badannya sudah di ambang batas kemampuan, dan lain sebagainya. Semua jenis karamah ini sifatnya empiris faktual sehingga dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh orang lain sehingga orang lain tersebut menaruh hormat dan pada akhirnya menerima dakwah Sang Wali dan bahkan mencoba meniru kesalehan Sang Wali.
Tetapi kalau misalnya ada orang yang bercerita bahwa Syaikh Fulan naik ke langit bolak-balik, kakeknya bertemu nabi setiap hari, ayahnya ngobrol dengan malaikat, ruh moyangnya turun ke dunia saat belum lahir, dirinya pernah bermimpi bertemu Nabi, dan sebagainya yang sama sekali tidak terbukti secara empiris, atau dengan kata lain tidak ada masyarakat yang menyaksikannya langsung, maka itu namanya bukan karamah tapi sekedar cerita atau khabar kata orang Arab.
Yang disebut khabar (dalam bahasa Indonesia diserap menjadi kabar) adalah pernyataan verbal yang bisa benar dan bisa bohong. Jadi, urusannya bukan dengan ketakjuban dan perasaan lemah dari orang lain tetapi sekedar orang mau percaya atau tidak. Bagi yang percaya, mungkin saja merasa takjub tapi bagi yang tidak percaya maka tidak ada artinya kecuali hanya dianggap membual.
Jadi, kebanyakan yang kita dengar sebenarnya hanya cerita sebab tidak empiris. Ohya, empiris tidak harus terjadi sekarang atau dilihat dan dibuktikan oleh orang sekarang, tapi juga yang dilihat dan disaksikan oleh orang di masa kejadian itu terjadi di masa lalu. Kita tahu karamahnya para wali di buku-buku biografi sebab banyak masyarakat di waktu itu yang melihat langsung, bukan sekedar pengalaman pribadi yang tidak dapat disaksikan orang lain. Sama dengan mukjizat Nabi, semuanya disaksikan banyak orang sehingga mau tidak mau orang akan terpana, percaya dan akhirnya beriman. Isra' misalnya, pada awalnya ia adalah sebuah cerita sebab tidak ada yang menyaksikannya, tetapi di hari berikutnya Nabi membuktikan bahwa kejadian itu empiris dengan menjelaskan detail ciri Baitul Maqdis dan siapa saja rombongan yang masih di jalan serta kapan estimasi mereka sampai.
Semoga bermanfaat.
Baca juga kajian tentang ikhtilaf berikut :
- Fiqih Perbandingan Mazhab
- Datang Shalat Jumat Saat Khotib Sudah Di Mimbar
- Ikhtilaf itu Cantik
- Antara Usuli dan Mujtahid
- Makin Banyak Jumpa Orang, Makin Banyak Perspektif Fikih
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad