Basuhan Najis
Jika kita membasuh sesuatu yang terkena najis, air bekas basuhan tersebut dalam fikih diistilahkan dengan air ghusalah. Bagaimana hukum air bekas basuhan atau ghusalah itu? Apakah suci atau najis?
Menurut pendapat yang kuat, berlaku rincian berikut: Jika setelah dibasuh objek bernajis itu bersih dan suci, maka air ghusalah juga suci. Adapun jika objek itu masih bernajis, maka air ghusalah juga dihukumi najis. Inilah pendapat mu’tamad dalam mazhab
Dalam Zubad:
وماء مغسول له حكم المحل إذ لا تغير به حين انفصل
Misalkan kita membasuh pakaian yang terkena najis. Di basuhan pertama, tidak seluruh najis terangkat, maka air bekas basuhan atau ghusalah saat itu hukumnya bernajis, karena pakaian yang dibasuh masih bernajis. Kemudian basuhannya ditambah. Sampai kepada tahap dimana najis pada pakaian itu terangkat dan bersih, maka air ghusalah dihukumi suci, karena pakaiannya juga sudah suci
Namun dalam kondisi tertentu beramal dengan pendapat ini membawa kepada kesulitan. Misalkan cipratan air ghusalah tadi bisa tersebar kemana-kemana; tersebar ke lantai, ke dinding, ke baju dan celana yang ia pakai dll. Maka menurut pendapat ini, selama objek yang dibasuh belum suci, semua air ghusalah itu dihukumi najis
Kesulitan ini akan sangat kentara dalam membasuh najis berat (mughallazhah) seperti najis anjing. Najis anjing baru dihukumi suci jika sudah dibasuh 7 kali, salah satunya dicampur dengan tanah. Maka selama basuhan itu belum genap 7 kali, air ghusalah bekas basuhan akan dihukumi najis dan dihukumi sebagai najis berat juga, karena objek bernajisnya belum suci
Hal ini dapat membuat sebagian orang menjadi kesulitan dan was-was. Jika terjadi demikian, maka ada solusi dengan mengambil pendapat yang kedua
Sebagian ulama berpendapat berbeda tentang air ghusalah. Mereka menilai air ghusalah itu hukumnya suci secara mutlak. Artinya, baik objek yang dibasuh sudah suci atau masih bernajis, air ghusalah tetap dihukumi suci
Di antara ulama yang bependapat air ghusalah suci secara mutlak adalah Abu Bakar Asy-Syasyi (w. 507 H) dan gurunya Syeikh Abu Ishaq dalam Al-Tanbih (w. 476 H). Syeikh Abu Ishaq dalam Al-Muhadzdzab menisbatkannya kepada imam Abu Ishaq Al-Marwazi (w. 340 H) dan gurunya Al-Qadhi Ibnu Suraij (w. 306 H) (keduanya adalah Ashabul Wujuh dalam mazhab). Ini juga merupakan ikhtiyar Taqiyuddin Al-Subki (w. 756 H), dan dinukilkan sebagai Qaul Qadim-nya Imam Syafi’i. Bahkan menurut Qaul Qadim air ghusalah bukan hanya suci, tetapi juga suci menyucikan meski objek yang dibasuh belum suci
Mereka menilai air yang dialirkan (wârid) kepada objek bernajis itu memiliki kekuatan, sehingga tidak terdampak oleh kenajisan
Pendapat kedua ini dita’birkan oleh imam Nawawi dalam Al-Majmu’ sebagai muqabil Al-Ashah, dan dita’birkan dalam Al-Raudah dan Al-Minhaj sebagai muqabil Al-Azhhar, yang menunjukkan pendapat ini juga kuat meskipun tidak mu’tamad
Maka berdasarkan pendapat ini, cipratan air ghusalah yang menyebar kemana-mana tidak masalah. Ia tidak najis dan tidak pula menajiskan. Apabila terkena pakaian yang ia pakai misalkan, pakaiannya tetap suci, tidak perlu dibasuh. Bahkan dalam membasuh najis anjing, air ghusalahnya dihukumi suci meskipun belum genap 7 kali basuhan. Bekas cipratannya juga tidak perlu dibasuh. Ini dinaskan di kitab-kitab sebagai tafri’ dari Qaul Qadim. Tentu pendapat ini membawa kemudahan bagi banyak orang
Kesimpulan:
Bagi orang yang ingin kehati-hatian maka amalkan pendapat yang mu’tamad. Jika objek yang dibasuh belum suci, basuhlah tempat-tempat yang terkena cipratan air ghusalah. Adapun bagi orang yang kesulitan mengamalkan pendapat tersebut, atau khawatir terkena was-was perihal najis, maka boleh baginya beramal dengan pendapat kedua yang menyatakan air ghusalah adalah suci, agar tidak menyulitkan dirinya sendiri dan tidak menyulitkan orang lain, karena pendapat yang kedua juga mu’tabar
Catatan:
Khilaf ini berlaku selama air ghusalah tidak berubah karena unsur najis pada objek yang dibasuh. Apabila air ghusalah berubah sifatnya karena najis, misalkan warnanya berubah karena najis, atau baunya berubah karena najis, dan ia yakin akan perubahan itu, maka air ghusalah dihukumi bernajis menurut ijmak ulama, tidak ada khilaf dalam hal ini, sebagaimana yang disebutkan imam Nawawi dalam Al-Majmu’
Wallahu ta’ala a’la wa a’lam
Sumber FB Ustadz : Khalil Kapeh Panji