Dalil Boleh Sama, Tapi Pemahaman Bisa Jadi Berbeda

Dalil Boleh Sama, Tapi Pemahaman Bisa Jadi Berbeda

DALIL BOLEH SAMA, TAPI PEMAHAMAN BISA JADI BERBEDA

Dalilnya boleh sama, tapi pemahaman terhadapnya bisa jadi berbeda. Dalil itu tidak bisa sekedar diterjemah atau dipahami secara tekstual, tapi harus dipahami maksudnya. Dalam memahami dalil, perlu memperhatikan banyak faktor. Mulai dari asbabul nuzul atau wurudnya dalil, konteksnya, sampai berbagai indikator yang meliputinya.

Pemahaman yang salah kepada dalil, sepintas sering kali terlihat benar, logis dan bombatis, di sisi orang awam. Tapi tidak demikian jika diamati secara mendalam. Maka jangan mudah terprovokasi dengan hal-hal seperti ini. Kita mesti merujuk kepada ulama yang berkompeten untuk menafsirkan dalil dari sumber-sumber yang primer.

Punya dalil saja tidak menjamin selamat dalam memahaminya. Perlu jembatan penghubung antara dalil dan pemahaman yang benar, dan itu adalah para ulama. Tapi, jangan sembarangan dalam mengikuti ulama, nanti bisa bahaya. Ikutilah jumhur (mayoritas) ulama khusushan para ulama mujtahidin dari imam mazhab yang empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal serta murid-murid mereka sampai zaman kita sekarang ini. Kenapa demikian ? karena keilmuan mereka itu semuanya bersanad sampai nabi.

Jangan suka mengikuti ulama minoritas dalam konteks menyelisihi mayoritas, atau yang kontroversial baik personalnya atau buku-bukunya, atau yang tidak jelas keilmuannya, atau pendapat-pendapat syadz (nyleneh) yang menyelisihi pendapat jumhur atau minimal menyelisihi pendapat para imam mazhab. Ingat ! kebenaran tidak akan keluar dari mazhab yang empat. Potensi salah pada ulama mayoritas, itu sangat tipis. Berbeda dengan minoritas.

Bersama jumhur ulama mazhab dalam memahami agama, baik dalam perkara ushul (pokok agama) atau furu’ (cabang agama), dijamin pasti selamat dunia akhirat. Nabi saw bersabda :

إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ

“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Maka apabila kalian melihat perselisihan, wajib atas kalian mengikuti kelompok mayoritas.” (HR. Ibnu Majah : 3950).


Disebutkan dalam kitab At-Taisir bisyarhi Al-Jami’ Ash-Shaghir (1/313) :

«(فَعَلَيْكُم ‌بِالسَّوَادِ ‌الْأَعْظَم) أَي الزموا مُتَابعَة جَمَاهِير الْمُسلمين وَأَكْثَرهم فَهُوَ الْحق الْوَاجِب فَمن خَالفه مَاتَ ميتَة جَاهِلِيَّة».

“Sabda nabi saw (Wajib kalian untuk mengikuti kelompok mayoritas), artinya ; wajib bagi kalian untuk mengikuti kelompok mayoritas muslimin (dan ulamanya) dan yang paling banyak dari mereka. Ini merupakan kebenaran yang wajib untuk dilakukan. Maka barang siapa yang menyelisihinya, dia mati dalam kondisi mati jahiliyah.”

(Abdullah Al-Jirani)

Foto sekedar ilustrasi

Baca juga kajian tentang ikhtilaf berikut :

  1. Talfiq
  2. Dampak Perbedaan Negara terhadap Perbedaan Waktu Puasa
  3. Semoga Yang Begini Tidak Banyak
  4. Geger Idul Adha Ini Menunjukkan Pentingnya Fikih Khilaf Bagi Masyarakat
  5. Penjelasan Ikhtilaf Mathali’

Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Dalil Boleh Sama, Tapi Pemahaman Bisa Jadi Berbeda - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®