ORANG TUA MEMILIKI HAK ATAS HARTA ANAK
Ustadz saya galau terkait penggunaan harta anak kandung. Benarkah ketika anak meski belum taklif maka orangtua tidak boleh menggunakan harta anak, dan kalaupun terpakai harus di ganti oleh orang tua.
Contoh kasus misalnya ketika anak lahir, kan banyak kado dan amplop biasanya, nah harta itu milik anak dan orang tua tidak boleh memakainya dan pemanfaatannya harus untuk anak tersebut.
Faktanya amplop anak saya ketika lahir saya gunakan untuk aqiqahnya dan itupun cuma sedikit bisa menutupi anggaran aqiqah yang kami keluarkan, jika ada lagi saya pake untuk membeli pempesnya dan saya pake juga untuk biaya makan dirumah sekeluarga.
Uangnya sudah habis ustadz, apa saya dan suami saya wajib mengganti ke anak – anak saya ? Apa saya sampaikan ke anak-anak bahwa dulu mereka punya harta dan kami sudah belanjakan untuk ini dan itu sehingga mereka mengikhlaskan dan kami sudah tak perlu mengganti lagi ? Mohon penjelasannya ustadz.
Jawaban
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Banyak diantara kita yang lupa bahkan mungkin telah buta terhadap hak-hak orang tua. Mengira bahwa ayah dan ibu hanya berhak dari anak-anaknya untuk mendapatkan perlakuan baik, tapi tidak memiliki hak atas harta anak-anaknya.
Terlebih setelah menikah, dengan dalih mencukupi nafkah anak dan istri, anak lupa bahwa ada nafkah bahkan juga saham kepemilikan orang tua terhadap hartanya.
Padahal nyatanya para ulama sepakat bahwa orang tua punya hak atas harta anaknya sampai kapan pun. Baik milik anak laki-lakinya maupun juga anak perempuannya .Ulama sepakat tentang masalah ini, dan hanya berbeda pendapat dalam masalah rinciannya.
Ada beberapa hadits yang berbicara tentang permasalahan ini diantaranya :
Ada seseorang mendatangi Nabi ﷺ lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta dan anak.
Namun orang tuaku membutuhkan hartaku. Rasulullah ﷺ kemudian menjawab,
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ
“Engkau dan hartamu adalah milik orang tuamu. Sesungguhnya anak-anakmu adalah sebaik-baik hasil usahamu. Makanlah dari hasil usaha anak-anakmu.” (HR. Abu Daud)
Sedangkan dalam riwayat lain,
وَلَدُ الرَّجُلِ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِهِ فَكُلُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Anak seseorang itu adalah hasil dari usahanya, itu adalah sebaik-baik usahanya. Maka makanlah dari harta mereka.” (HR. Abu Daud)
Meski makna memiliki harta di sini bukan makna hakikiyah, dalam artian orang tua turut menjadi pemilik harta bersama si anak, tapi orang tua memiliki hak memanfaatkan sebagian harta tersebut, terlebih jika dia sangat membutuhkan.
Berkata al Khattabi rahimahullah :
نفقة الوالدين واجبة على الولد، ولا أعلم أحدًا منهم اشترط فيها
"Menafkahi orang tua adalah kewajiban atas anak, dan aku tidak mengetahui adanya seorang ulama pun yang mengharuskan adanya syarat tertentu untuk nafkah kepada orang tua..." [1]
Berdasarkan dalil dan penjelasan di atas, ayah dari seorang anak, memiliki hak atas harta anak-anaknya, bahkan bukan sekedar hak mendapatkan nafkah, tapi juga hak untuk membelanjakan harta anaknya tersebut.
Baik ketika anak itu masih kecil, maupun ketika telah dewasa dan bisa mencari nafkah dengan usahanya sendiri.
Ulama hanya berbeda pendapat dalam rincian hak tersebut, apakah itu bersifat mutlak atau terbatas, mari kita simak penejelasannya.
1. Berhak di kala membutuhkan
Mayoritas ulama yakni dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa hak seorang ayah atas harta anak baik ketika masih kecil atau telah dewasa adalah ketika dia membutuhkan harta tersebut untuk keperluan nafkahnya, seperti kebutuhan harian.
Untuk jenis kebutuhan asasinya, seorang ayah boleh mengambil harta anaknya meskipun tanpa izin dan ridha si anak.[2]
Berkata imam Al Munawi berkata;
إذا احتاج لمالك أخذه، لا أنه يباح له ماله على الإطلاق
"Jika orang tua membutuhkan harta anaknya, maka dia boleh mengambil harta anaknya tersebut, bukan karena orang tua tersebut mempunyai hak penuh dalam harta tersebut..." [3]
Adapun untuk keperluan selain itu, seperti untuk tujuan bermewah-mewah, maka ia harus meminta izin kepada anaknya. Atau minimalnya memberitahukannya.
Hanya jika anak itu masih kecil, si ayah atau juga walinya yang lain boleh membelanjakan harta untuk keperluan si anak dan berhak mengaturnya. Hal ini karena dia masih belum tamyiz, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan janganlah kalian serahkan – kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya – harta (mereka yang ada dalam wewenangmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS. An-Nisa: 5)
2. Berhak secara mutlak
Sedangkan para ulama dari madzhab Hanbali dan kalangan Dzahiri berpendapat, hak seorang bapak atas anaknya bersifat mutlak. Dia boleh menggunakan harta anaknya untuk keperluan apapun.[4]
Berkata al imam Ibnu Qudamah al Maqdisi rahimahullah :
وللأب أن يأخذ من مال ولده ما شاء ويتملكه مع حاجة الأب إلى ما يأخذه ومع عدمها صغيرا كان الولد أو كبيرا
"Boleh saja seorang ayah mengambil harta anaknya semaunya untuk ia miliki, apalagi jika itu adalah hal yang ia butuhkan. Dan tetap dibolehkan meskipun hal itu bukan hajat pentingnya. Ayah tersebut boleh mengambil harta tersebut dari anaknya yang masih kecil maupun dewasa."[5]
Hak ayah ini hanya berbatas yakni tidak sampai memusnahkan harta si anak, atau mendzaliminya. Semisal orang tua menjadi kaya raya dan hidup enak sedangkan si anak termiskinkan dan hidup sengsara padahal harus menanggung nafkah keluarganya.
Dan tentu tanpa butuh dalil, hal seperti ini sudah dima'lumi bersama keharamannya, siapapun pelakunya.
Bagaimana untuk seorang ibu ?
Ulama berbeda pendapat tentang permasalahan ini. Sebagian ulama berpendapat kedudukan ibu seperti halnya ayah dalam hak atas harta anak-anaknya, sedangkan sebagian berpendapat hadits-hadits diatas hanya berlaku untuk ayah dan tidak bisa diqiyaskan kepada ibu.
Ibnu Hazm rahimahullah menukil perkataan Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dalam kitabnya al Muhalla : “Ayah dan ibu boleh mengambil harta anaknya tanpa izin si anak.”
Sedangkan Ibnu Qudamah berpendapat : “Hadits diatas tidak boleh dikiaskan untuk orang lain selain ayah, karena seorang ayah punya wewenang atas anaknya dan hartanya bila anak itu masih kecil.”[6]
Namun demikian para ulama sepakat bahwa kedua orang tua, memiliki hak yang sama dalam masalah nafkah dari anak-anaknya jika membutuhkan.[7]
Kasus yang ditanyakan
Untuk kasus yang ditanyakan, maka tidak perlu bagi orang tua untuk meminta izin kepada anak-anaknya. Karena penggunaan harta milik si anak tersebut dilakukan secara ma’ruf, tidak ada unzur kedzaliman dan juga untuk keperluannya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Seorang ayah boleh mengambil harta anaknya tanpa seizinnya, yakni sebatas kebutuhannya. Anak tidak punya hak untuk melarangnya.”[8]
Jika untuk kebutuhan dan keperluan orang tua dibolehkan, tentu akan lebih boleh lagi jika itu menyangkut keperluan dan kebutuhan si anak.
Wallahu a’lam.
_________
[1] Mu'alim as Sunan (3/166)
[2] Majmu’ Syarh al Muhadzab (15/384).
[3] Faidhul Qadir (5/13)
[4]Al Muhalla (6/85).
[5] Al Mughni (8/272).
[6] Al Mughni (5/397).
[7] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (41/74).
[8] Majmu’ Fatawa (34/102).
baca juga kajian tentang parenting berikut :
- Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anaknya
- Uang THR Haram Digunakan Orang Tua?
- Pengamanan Anak di Masjid
- Anak-Anak Ribut Di Masjid, Solusinya?
- Rambu Canda dan Permainan Anak
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq