Penilaian Terhadap Hadits Bersifat Ijtihadi
Ada persepsi yang berkembang di sebagian orang bahwa ketika ulama hadits mengatakan: “Hadits ini shahih”, berarti hadits tersebut benar-benar telah diucapkan oleh Nabi Saw. Sebaliknya, ketika ulama hadits mengatakan: “Hadits ini tidak shahih” berarti hadits ini sama sekali tidak pernah diucapkan oleh Nabi Saw.
Persepsi ini muncul karena kata ‘shahih’ artinya ‘benar’. Maka ketika ada ulama yang mengatakan “hadits ini shahih” seolah-olah hadits ini benar telah diucapkan oleh Nabi Saw. Fatalnya, persepsi ini tidak hanya berkembang di kalangan ‘awam’ yang tidak mempelajari ilmu hadits dari sumber-sumber yang terpercaya atau dari para ulama hadits yang diakui, namun juga di sebagian kalangan ustadz atau mereka yang dianggap sebagai ustadz. Mari kita lihat lebih jauh.
Ketika ulama hadits mengatakan, “hadits ini shahih” maka sesungguhnya yang mereka maksud adalah “hadits ini shahih” menurut ilmu musthalah, atau shahih sanadnya, atau shahih dari segi ghalabah azh-zhan (dugaan kuat). Ini tidak berarti bahwa hadits tersebut benar-benar telah diucapkan oleh Nabi Saw (shahih fi nafs al-amr), karena memang tidak ada yang bisa memastikan seratus persen bahwa Nabi Saw telah mengucapkan hadits tersebut kecuali sahabat yang langsung mendengarkannya dari Nabi Saw.
Demikian juga sebaliknya. Ketika ulama hadits mengatakan, “hadits ini tidak shahih” tidak berarti bahwa hadits tersebut telah dipastikan tidak pernah terucap oleh Rasulullah Saw. Yang mereka maksudkan dari penilaian itu sebenarnya adalah hadits tersebut dalam kacamata ilmu musthalah hadits adalah tidak shahih. Ini tidak berarti bahwa hadits tersebut tidak shahih secara mutlak atau fi nafs al-amr.
Ketika ulama hadits mengatakan “hadits ini shahih” berarti mereka telah mengkaji sanad hadits tersebut dan menemukan bahwa para perawinya memenuhi berbagai kriteria sehingga hadits tersebut bisa dikategorikan sebagai hadits shahih. Namun tetap saja ada kemungkinan (ihtimal/probablitas) bahwa seorang rawi yang tsiqah boleh jadi keliru, lupa dan sebagainya.
Demikian juga ketika mereka mengatakan “hadits ini tidak shahih”, berarti mereka telah mengkaji sanadnya dan menemukan kenyataan bahwa diantara rawi hadits tersebut ada rawi yang hafalannya buruk, ‘adalah-nya tidak sempurna, atau bahkan ia dituduh sebagai pendusta. Namun tetap saja ada kemungkinan bahwa seorang pendusta pun juga pernah jujur. Manatahu, hadits yang dikategorikan maudhu’ ini termasuk salah satu hadits yang ia jujur di dalamnya.
Inilah yang dimaksud oleh Imam Ibnu Shalah dalam kitab monumentalnya; Muqaddimah fi ‘Ulumil Hadits :
ومتى قالوا: " هذا حديث صحيح " فمعناه: أنه اتصل سنده مع سائر الأوصاف المذكورة ... وكذلك إذا قالوا في حديث: " إنه غير صحيح " فليس ذلك قطعا بأنه كذب في نفس الأمر، إذ قد يكون صدقا في نفس الأمر، وإنما المراد به أنه لم يصح إسناده على الشرط المذكور
“Ketika para ulama hadits mengatakan: “ini hadits shahih” maksudnya adalah hadits ini bersambung sanadnya dengan syarat-syarat yang telah disebutkan (sebelumnya). Begitu juga ketika mereka mengatakan: “hadits ini tidak shahih” bukan berarti bahwa hadits ini pasti bohong (palsu), karena boleh jadi saja dalam kenyataannya ia benar. Jadi maksudnya adalah sanad hadits ini tidak shahih berdasarkan kriteria yang tersebut.”
Hal ini dipertegas oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya yang dijadikan rujukan secara luas dalam bidang ilmu hadits; Tadrib ar-Rawi :
(وإذا قيل) هذا حديث (صحيح فهذا معناه) أي: ما اتصل سنده مع الأوصاف المذكورة، فقبلناه عملا بظاهر الإسناد (لا أنه مقطوع به) في نفس الأمر، لجواز الخطأ والنسيان على الثقة
Jika dikatakan, “ini hadits shahih” maka maksudnya adalah hadits ini bersambung sanadnya dengan syarat-syarat yang disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu haditsnya kita terima melihat kepada kondisi lahir (luar) sanadnya. Ini tidak berarti hadits ini pasti (diucapkan oleh Nabi) secara kenyataannya, karena bisa jadi terjadi kesalahan dan kealpaan pada seorang yang tsiqah (tsiqah adalah tingkatan rawi tertinggi yang menghimpun antara ‘adil dan dhabith).
Demikian juga ketika dikatakan, “hadits ini tidak shahih” :
لا أنه كذب في نفس الأمر؛ لجواز صدق الكاذب وإصابة من هو كثير الخطأ
Tidak berarti bahwa hadits tersebut pasti bohong (palsu), karena ada kemungkinan seorang yang berbohong berkata jujur dan seorang yang banyak salah berkata benar.
Apakah dengan demikian kita meragukan penilaian para ulama terhadap sebuah hadits? Tentu tidak. Karena metodologi ilmu hadits diakui sebagai metodologi terbaik dan paling ketat dalam menguji keotentikan sebuah informasi.
Yang ingin kita tegaskan disini adalah bahwa penilaian terhadap sebuah hadits, apakah ia shahih (benar), hasan (baik), dha’if (lemah) maupun maudhu’ (palsu), semua itu adalah hasil ijtihad para ulama, bukan sesuatu yang bersifat mutlak.
Karena itulah kita akan mendapati perbedaan pendapat antar mereka dalam menilai sebuah hadits. Di saat alim A mengatakan hadits ini shahih, alim B mengatakan hadits tersebut hasan, atau bahkan dha’if. Jadi, hal ini tidak bedanya dengan perbedaan para ulama fiqih ketika mengatakan perbuatan A halal sementara yang lain mengatakan ia haram.
Namun demikian, para ulama menegaskan bahwa untuk hal-hal yang bersifat ‘amaliyyah (amalan sehari-hari), ketika sebuah hadits dinilai oleh mereka yang berkompeten bahwa ia shahih, maka hadits itu wajib diamalkan (tentunya dengan memperhatikan hal-hal lain yang diketahui oleh para ulama seperti tidak ada hadits shahih lain yang bertentangan, tidak ada yang me-nasakh-kannya, memperhatikan tahqiqul manath, dan sebagainya).
Meskipun hadits-hadits shahih tersebut termasuk dalam kategori hadits ahad yang bersifat zhanniy ats-tsubut (keotentikannya tidak bersifat pasti) namun dalam masalah amaliyyah kita hanya dibebankan beramal dengan sesuatu yang zhanniy, bukan qath’iy. Sementara dalam masalah akidah yang akan diyakini, dalilnya mestilah sesuatu yang bersifat qath’iy. Dalil yang qath’iy ini adalah al-Quran dan Sunnah yang mutawatir. Wallahu a'lam.
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi