Arti Bermazhab
Bermazhab berarti ;
1). Memahami persoalan agama berdasarkan dalil berupa Qur’an, hadits, ijmak dan Qiyas (ini disepakati), serta dalil-dalil yang lainnya, melalui jalur, manhaj (metode), dan kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama yang memiliki kapasitas untuk itu (para ulama mujtahidin).
2). Mengikuti tradisi para ulama Salaf sejak masa sahabat (waktu itu namanya madrasah), tabi’in, tabiut tabi’in dan para ulama di masa-masa yang setelahnya sampai zaman kita sekarang ini. Hampir-hampir tidak ada seorang pun ulama pendahulu kita, kecuali mereka bermazhab.
3). Mengikuti hasil istimbath hukum dalam berbagai persoalan agama dari para ulama yang memiliki kapasitas untuk melakukannya, yaitu para ulama yang telah mencapai derajat ahli ijtihad. Di mana mereka ini, adalah orang-orang yang telah diakui akan kemampuan dan amanahnya oleh umat. Dengan demikian, akan lebih aman, menentramkan hati, terstruktur, dan terminimalisir dari dari berbagai potensi kesalahan.
4). Menyadari kapasitas diri sebagai seorang muqallid yang tidak memiliki piranti yang cukup untuk melakukan ijtihad dan istimbath hukum, lalu mengikuti mereka para ulama yang telah mencapai derajat ahli ijtihad.
5). Mengikuti salah satu dari empat mazhab yang telah direkomendasikan oleh para ulama dari masa ke masa, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bukan mencampuradukkan berbagai mazhab yang ada. Untuk di Indonesia, sangat disarankan untuk mengikuti mazhab Syafi'i, dalam rangka menyesuaikan diri dengan mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduknya.
Bermazhab bukan berarti ;
1). Ta’ashub (fanatik buta) dengan mazhab fiqh yang digeluti, tapi tepatnya taqlid kepada para imam mujtahidin dalam persoalan yang tidak mampu dilakukan sendiri karena ketiadaan kemampuan untuk melakukannya. Keduanya (ta’ashub dan taqlid) dua hal yang berbeda.
2). Menolak dalil, tapi beramal sesuai dalil atau istidlal yang diyakini. Kalapun ada dalil yang sepintas tidak diamalkan atau dijadikan dasar dalam suatu pendapat, bukan artinya ditolak, tapi mungkin ada sebab lain di sisi para ulama. Bisa jadi dalil tersebut itu dinilai lemah, atau manshukh (dihapus hukumnya), atau muqayyad (dibatasi oleh dalil lain) atau sebab-sebab yang lain.
3). Enggan mengingkari bid’ah, tapi lebih tepatnya lebih berhati-hati dalam membid’ahkan suatu perkara. Perkara yang terbukti bidah di sisi para ulama tetap dibid’ahkan, tapi yang tidak terbukti maka tidak dibid’ahkan. Jika ada persoalan yang dibid’ahkan oleh satu pihak, tapi tidak dibid’ahkan pengikut mazhab, bukan berarti mereka enggan untuk membid’ahkan perkara yang bid’ah, tapi lebih tepatnya perkara tersebut tidak dianggap bid’ah oleh para ulama yang lain yang mereka ikuti. Kita harus ingat, bahwa menjatuhkan vonis bid’ah dalam suatu persoalan merupakan perkara yang sifatnya ijtihadi.
4). Menjadikan para imam mazhab seperti nabi atau Tuhan (sesembahan selain Allah). Jika suatu saat kita mendapatkan pendapat imam mazhab sepintas bertentangan dengan dalil dari Qur’an dan sunah, bukan berarti mereka (para imam mazhab) dengan sengaja menentang keduanya, tapi mungkin jadi ada sebab-sebab lain di sisi mereka. Misalnya, menurut mereka dalil tersebut walau shahih, tapi sudah manshukh (dihapus hukumnya), atau makhshus (dikhususkan oleh dalil lain), atau sifat umumnya tidak diinginkan, atau sebab-sebab lain.
5). Meremehkan persoalan tauhid, syirik, bidah dan sunah. Semua diperhatikan dengan baik sesuai dengan porsi serta argument yang ilmiyyah yang bisa dipertanggungjawabkan. Jika ada pihak yang membid’ahkan suatu perkara kemudian pengikut mazhab tidak membid’ahkannya, bukan berarti pengikut mazhab tidak perhatian dengan persoalan bidah dan sunah. Bisa jadi ada penyebab dan argumentasi lain yang mendasari pendapatnya.
6). Sempurna, tapi lebih tepatnya masih dalam rangka “berusaha” ke arah yang lebih baik. Karena baru berusaha, sangat mungkin ada pihak-pihak yang terkadang tidak sesuai dengan rell yang telah digariskan para ulama. Itu sifatnya oknum. Kasus yang sifatnya parsial, tidak boleh digunakan secara general.
7). Tidak boleh keluar dari mazhab sama sekali, tapi boleh saja keluar dari mazhab dalam situasi dan kondisi serta syarat tertentu.
Semoga bisa sedikit mencerahkan. Jika belum, bisa dibaca dan dipelajari buku-buku yang mengulas tentang studi pengantar fiqh mazhab. Wallahu a’lam.
(Abdullah Al-Jirani)
*Gambar hanya ilustrasi.
Baca juga kajian ulama tentang mazhab berikut :
- Mazhab Kami Quran dan Sunah?!
- Sifat Shalat Nabi ala Madzhab Syafi'i
- Jangan Tampil Beda, Bermazhablah
- Semakin Bijak dan Dewasa dengan Bermazhab
- Hukum Mencampur Pendapat Antar Mazhab
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
1 Juni 2021