Kata as Sunnah (السُّنَّة), sebagaimana dikatakan oleh Abul Baqaa dalam kitab Kulliyaat-nya- menurut etimologi berarti jalan atau cara, walaupun tidak diridhai, sedangkan menurut terminologi syara’ as Sunnah ialah sebutan bagi jalan atau cara yang diridhai dalam menempuh agama, yakni jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW atau orang-orang memiliki otoritas sebagai panutan dalam masalah agama, seperti para sahabat Nabi. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Artinya: “Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mengikuti jalan yang benar (khulafa’ ar rasyidin) sepeninggalku.”
Dari kacamata terminologi ‘urf (kebiasaan) as Sunnah berarti sesuatu yang dilakukan secara rutin oleh orang yang patut diteladani, baik seorang nabi maupun seorang wali. Sedangkan kata sunni (سُنِّيّ) adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada as-sunnah. Huruf ta (ة) dihilangkan untuk kepentingan nisbah.
Lafadz al Bid’ah (البِدْعَة) menurut Syaikh Zaruq dalam kitab “Uddatu al Murid” dari sudut pandang terminologi syara’ adalah: “Menciptakan hal baru dalam perkara agama yang seolah-olah ia merupakan bagian dari perkara agama. Padahal, sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun hakikatnya. Karena Nabi Muhammad SAW. bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa menciptakan suatu hal baru dalam urusan kami ini (urusan agama), yang bukan bagian dari agama, maka ia tertolak.”
Dalam hadis lain:
وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
“Setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah.”
Para ulama menjelaskan bahwa makna yang terkandung di dalam dua hadis diatas merujuk kepada tindakan merubah hukum dengan cara menganggap sesuatu yang bukan merupakan bagian dari ibadah dianggap sebagai bagian dari sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena boleh jadi perkara itu telah tercakup oleh pokok-pokok syari’at (ushul) sehingga perkara itu dalah bagian dari syariat itu sendiri. Atau perkara tersebut telah tercakup dalam cabang-cabang syari’at (furu’) sehingga perkara itu dianalogikan sebagai syari’ah.
Syaikh Zarruq membagi parameter ukuran bid’ah menjadi tiga.
Pertama, perkara yang diada-adakan itu harus dilihat dari dalil-dalilnya Jika sebagian besar syari’at dan pokok-pokoknya mendukungnya, maka perkara itu bukan bid’ah. Jika perkara itu termasuk yang ditolak dengan alasan apapun, maka perkara itu adalah batil dan sesat. Jika dalil-dalil yang ada tidak memberikan kepastian hukum bagi perkara itu, atau perkara itu diselimuti syubhat dan dalil-dalil yang ada terlihat sama, maka dalil-dalil itu harus ditimbang. Dalil yang lebih kuat dijadikan sebagai rujukan.
Kedua, ialah mempertimbangkan kaidah-kaidah yang diakui oleh para imam dan generasi salaf umat yang mengikuti jalan sunnah. Perkara yang bertentangan dengan kaidah-kaidah tersebut dari segala sisi tidak boleh dijalankan. Perkara yang sesuai dengan prinsip-prinsip mereka adalah benar, meskipun mereka berbeda pendapat tentang perkara itu, baik dalam tataran cabang maupun pokok. Maka masing-masing mengikuti landasan dan dalilnya masing-masing.
Salah satu kaidah mereka menyatakan bahwa sesuatu yang diamalkan oleh generasi salaf dan diikuti oleh generasi khalaf tidak boleh disebut bid’ah atau tercela. Sedangkan sesuatu yang sama sekali mereka tinggalkan dengan alasan apapun maka tidak dapat disebut sunnah atau terpuji. Adapun sesuatu yang landasan pokoknya mereka tetapkan tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka pernah melakukannya, menurut Imam Maliki itu adalah bid’ah. Sebab, mereka tidak mungkin meninggalkannya tanpa alasan tertentu yang mereka miliki.
Namun Imam asy Syafi’I memiliki pandangan berbeda. Meskipun tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf, perkara itu tidak bisa (serta-merta) disebut bid’ah. Sebab, boleh jadi mereka (ulama salaf) tidak melakukannya karena adanya udzur (halangan) yang terjadi pada waktu itu, atau karena ada alternatif lain yang lebih baik. Sementara hukum diambil dari syari’ (pembuat syari’at), dan dia telah menetapkannya.
Selain itu para ulama juga berbeda pendapat tentang sesuatu yang tidak ditemukan dalil dari as Sunnah yang menentangnya atau membuatnya menjadi syubhat (samar). Manurut Imam Malik, itu adalah bid’ah, sedangkan menurut Imam asy Syafi’i, itu bukanlah bid’ah. Asy Syafi’i mendasarkan pendapat ini pada sebuah Hadis yang menyatakan:
وَمَا تَرَكْتُهُ لَكُمْ فَهُوَ عَفْوٌ.
”Dan apa yang kutinggalkan itu adalah dimaafkan”.
Atas dasar inilah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, contonya mengenai pengadaan kantor administrasi, berdzikir dengan suara keras, berkumpul dan berdo’a (bersama). Sebab, di dalam hadis terdapat anjuran untuk itu, tetapi tidak ada informasi yang menyebutkan bahwa hal itu pernah dilakukan oleh generasi salaf. Maka orang yang menyepakati hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai pembuat bid’ah oleh orang yang berpandangan lain. Hal itu karena ia memutuskan hukum berdasarkan hasil ijtihad yang tidak boleh dilanggarnya.
Seseorang juga tidak boleh menyatakan bahwa pendapat yang berseberangan dengannya adalah batil, karena adanya syubhat. Seandainya pembid’ahan dan pembatilan itu boleh dilakukan, konsekwensinya ialah menganggap seluruh umat ini telah melakukan bid’ah. Padahal sudah diketahui bersama bahwa hukum Allah bagi orang yang berijtihad tentang masalah furu’ ialah apa yang berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri. Sebaiknya kita katakan bahwa yang benar adalah satu atau lebih dari satu. Karena Rasulullah SAW pernah bersabda:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ
“Jangan sekali-kali seseorang (di antara kalian) menunaikan Shalat Ashar kecuali di tempat Bani Quraidzah”.
Hadis itu berawal dari sebuah cerita sahabat dan Rasulullah SAW mendapati waktu Ashar di tengah jalan. Maka sebagian dari mereka berkata: ‘Kita diperintahkan untuk bergegas’. Dan mereka pun menunaikan Shalat Ashar di tengah jalan. Sementara yang lain berkata: ‘Kita diperintahkan untuk menunaikan shalat ashar di sana’. Maka mereka pun menunda shalat ashar (sampai tiba di tempat Bani Quraidzah). Ternyata Rasulullah SAW tidak mencela siapapun dari mereka. Hal itu menunjukkan keabsahan mengamalkan apa yang dipahami dari syari’ (pembuat syari’at) manakala tidak didasarkan pada bisikan hawa nafsu.
Ketiga, ialah parameter pemilahan yang didasarkan pada saksi-saksi hukum. Parameter ini sifatnya terperinci. Parameter ini terbagi menjadi enam macam sebagaimana macam-macamnya hukum syariat, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.
Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima, antara lain:
Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari‟ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.
Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”
Maka setiap hal baru yang condong ke ashal (hukum) tertentu dengan cara yang benar dan jelas, tidak jauh, dapat digabungkan (baca: disamakan hukumnya) dengan ashal tersebut. Sedangkan yang tidak (condong ke ashal tertentu dengan cara yang benar dan jelas) adalah bid’ah. Parameter inilah yang dijadikan sebagai pedoman oleh banyak ulama. Mereka menggolongkannya ke dalam bid’ah dari segi bahasa untuk memudahkan pemahaman. Wallahu a’lam.
Kemudian Syaikh Zarruq mengatakan: “Bid’ah dibagi menjadi 3 macam:
Bid’ah Sharihah (bid’ah yang nyata). Yaitu bid’ah yang ditetapkan tanpa dalil syar’i dan berseberangan dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh dalil syar’i, baik wajib, sunnah, mandub maupun lainnya, sehingga bid’ah itu mematikan sunnah Nabi SAW atau membatalkan perkara yang benar. Ini adalah bid’ah yang paling buruk. Meskipun bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari dalil-dalil pokok (ushul) maupun dalil-dalil cabang (furu’) tetap tidak dapat diakui keabsahannya.
Bid’ah Idlofiyah (bid’ah yang ditambahkan). Yaitu bid’ah yang disandarkan kepada suatu perkara yang jika perkara tersebut dapat diterima maka tidak sah mempertentangkan statusnya sebagai sunnah atau bukan bid’ah tanpa khilaf atau menurut khilaf yang telah disebutkan di muka.
Bid’ah Khilafiyah (bid’ah yang diperselisihkan). Yaitu perkara yang didasarkan pada dua dalil yang saling tarik-menarik. Bagi yang memegang teguh dalil yang ini, perkara itu adalah bid’ah. Sebaliknya, bagi yang memegang teguh dalil lain yang berseberangan, perkara itu adalah sunnah. Seperti pembuatan kantor administrasi dan dzikir berjamaah yang telah disebutkan di muka.”
Al Allamah Muhammad Waliyuddin Asy Syabtsiri -dalam Syarah al Arba’in an Nawawiyah- mengomentari sabda Nabi SAW:
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا ، أَوْ آوَى مُحْدِثًا ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ
“Barangsiapa yang mengadakan hal baru atau melindungi orang yang mengadakan hal baru, ia akan mendapatkan laknat dari Allah.”
Masuk dalam kerangka interpretasi hadis ini yaitu segala bentuk akad-akad fasidah (rusak), menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan kasus lainnya dari berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’. Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadis ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’, terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat perbandingan yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya, kecuali sebatas persangkaan mujtahid, seperti menulis Mushaf, mengsarikan pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab.
Jika kita mengerti terhadap apa yang telah diuraikan di atas, maka anda pasti tahu bahwa apa yang dicap bid’ah –seperti seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian, dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah. Sebaliknya, sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh (pungutan secara liar) dari pasar-pasar malam, bermain undian (taruhan) dalam pertunjukan gulat (semacam bola dan pertandingan lain) dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.
(* Disarikah dari Risalah Ahlusunnah Wal Jama’ah Karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari
Baca juga kajian Sunnah berikut :
Sumber Web : https://tebuireng.online/sunnah-dan-bidah-dalam-pandangan-hadratussyaikh-kh-m-hasyim-asyari/ (31 Mei 2016)