Apakah Allah Bersuara ketika Menyampaikan Wahyu? (II-Habis)
Setelah dalam bahasan sebelumnya (Apakah Allah Bersuara ketika Menyampaikan Wahyu?) dijelaskan bahwa menurut mazhab Ahli Hadits Allah tak bersuara sebab tak mungkin Dzat Allah memproduksi suara atau apa pun, maka biasanya timbul pertanyaan lanjutan seperti berikut: Bagaimana bila dikatakan bahwa suara Allah adalah qadim (ada tanpa awal mula) sehingga mutlak berbeda dengan suara makhluk? Dan bagaimana pula dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Allah memanggil manusia dengan suara?
Pernyataan bahwa suara Tuhan berbeda secara mutlak dengan suara makhluk sehingga tidak bersifat seperti suara pada umumnya yang bersumber dari getaran, butuh media untuk merambat, bisa dipantulkan, bisa dihalangi dan seterusnya, atau pernyataan bahwa suara Tuhan adalah suara yang qadim berbeda dengan suara makhluk, statemen semacam ini sama sekali tak bisa dipahami sebab suara yang didengar telinga manusia hanyalah yang bersifat bersumber dari getaran, butuh media untuk merambat, bisa dipantulkan, bisa dihalangi dan seterusnya itu. Bila output adanya suara Tuhan itu adalah untuk didengar telinga makhluk, maka tidak bisa tidak haruslah berupa suara biasa yang bisa didengar makhluk.
Imam al-Baqillani menyatakan sebagai berikut:
ونحن لا نسمع إلا صوتاً مثل هذه الأصوات، ولا نرى حرفاً ولا نسمعه إلا مثل هذه الحروف؛ وهذا القول يوجب أن لا يكون عندنا قرآن بالجملة أو يؤدي إلى أن يكون هذا القرآن بهذه الحروف والأصوات المعروفة غير ذلك القرآن الذي هو بحروف وأصوات قديمة، لا تشبه هذه الحروف والأصوات، والجميع فاسد باطل
“Kita tidak mendengar suara kecuali seperti suara yang ada ini dan tak melihat huruf dan tak mendengarnya kecuali huruf-huruf ini. Pendapat [yang mengatakan bahwa suara dan huruf Tuhan adalah qadim] ini berarti mengatakan kita tak punya al-Qur’an. Dan, secara global berkonsekuensi mengatakan bahwa al-Qur’an yang ada dengan huruf dan suara yang dikenal ini bukanlah al-Qur’an yang memakai suara dan huruf yang qadim itu yang tidak menyerupai suara huruf ini. Semuanya adalah salah.” (al-Baqillani, al-Inshâf: 162).
Soal suara dan huruf ini, nalar para tokoh yang mengatakan bahwa Allah bersuara sebenarnya sama persis dengan nalar Muktazilah yang menolak keberadaan kalamullah. Keduanya meyakini bahwa sifat kalâm pastilah berupa suara dan huruf. Hanya saja Muktazilah konsisten kemudian menolak adanya sifat kalam dari Dzat Allah dengan alasan tiap suara dan huruf pastilah makhluk. Muktazilah berdalil memakai realita tetapi mengabaikan nash yang menyatakan bahwa Allah berkalam. Adapun tokoh yang mengatakan bahwa Allah bersuara tetapi suaranya berbeda sifat sejatinya tidak konsisten karena menetapkan adanya suara bagi Dzat Allah yang bisa didengar manusia, tetapi mengatakan bahwa suara itu bukan makhluk seolah di dunia ini ada suara yang bukan makhluk. Mereka memakai nash yang menetapkan adanya kalam, tapi mengabaikan realita bahwa semua jenis suara pasti makhluk. Keduanya tidak tepat.
Adapun salah satu hadits riwayat Imam Bukhari yang sepintas menyatakan bahwa di hari kiamat nanti Allah memanggil manusia dengan bersuara (bishautin), maka para ulama pakar hadits berbeda dalam menyikapinya. Sebagian, seperti Imam al-Baihaqi, meragukan validitas tambahan redaksi “dengan suara” tersebut sebab hadits lainnya tidak memakai tambahan tersebut. Dalam salah satu pernyataannya, Imam al-Baihaqi menganggap tambahan itu hanyalah redaksi dari perawi semata. Sebagian lain, seperti Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, menganggapnya valid secara sanad sehingga harus diterima tetapi dengan catatan wajib dipasrahkan maknanya pada Allah semata (di-tafwîdh) atau ditakwil (Ibnu Hajar, Fath al-Bâry, vol. XIII, hal. 458). Kedua pendapat ini meniscayakan bahwa kata “suara” di hadits itu bukan berarti bahwa Allah bersuara.
Di antara takwilan redaksi “dengan suara” itu adalah seperti dinyatakan oleh Imam Badruddin al-Aini dalam Syarah Bukhari-nya sebagaimana berikut:
قَوْله: (فيناديهم بِصَوْت) قَالَ القَاضِي الْمَعْنى يَجْعَل ملكا يُنَادي، أَو يخلق صَوتا ليسمعه النَّاس، وَأما كَلَام الله تَعَالَى فَلَيْسَ بِحرف وَلَا صَوت
“Perkataan Nabi: ‘kemudian ia memanggil mereka dengan suara’, al-Qadli mengatakan: Maknanya adalah Allah menjadikan seorang malaikat yang memanggil atau Allah menciptakan suara (bukan mengucapkan suara) agar didengar manusia. Ada pun sifat kalamullah ta’ala maka bukan berupa huruf dan suara.” (Badruddin al-Aini, Umdat al-Qâry, vol. II, hal. 74)
Wallahu a'lam.
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur. Dukung kami untuk terus berkembang
Sumber : NU Online